Selasa, 29 September 2009

Makna Berbagai Sebutan tentang Manusia


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

   

KISAH-KISAH MONUMENTAL 

  DALAM AL-QURAN

  Makna Berbagai Sebutan Tentang Manusia  
  
oleh 
Ki Langlang Buana Kusuma
 
Sebelum melanjutkan pembahasan tentang upaya-upaya penghadangan iblis di jalan Allah Ta’ala terhadap para pengikut Adam a.s., terlebih dulu akan dijelaskan mengenai hakikat perbedaan penyebutan tentang manusia dan perbedaan asal penciptaannya, firman-Nya:
Dan sungguh Kami benar-benar telah menciptakan insan (manusia) dari tanah liat kering yang mendenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk. Dan sebelumnya jin Kami telah menciptakannya dari api angin panas. Dan [ingatlah] ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan basyar manusia) dari tanah liat kering yang mendenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk. Maka ketika Aku mem­berinya bentuk [yang sempurna] dan telah Aku tiupkan Ruh-Ku ke dalamnya maka jatuhkanlah dirimu baginya sujud [kepada Allah]." Maka sujudlah malaikat semuanya, kecuali iblis. Ia menolak bersama-sama mereka untuk sujud. Dia berfirman, "Hai iblis, apakah yang telah terjadi dengan engkau, bahwa engkau tidak sujud bersama-sama dengan mereka?” Ia berkata, "Aku tidak mau sujud bagi basyar (manusia) yang telah Engkau jadikan dari tanah liat kering yang berdenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk.” Dia berfirman, "Maka keluarlah dari sini, karena sesungguhnya engkau terkutuk, dan sesungguhnya atas engkau ada kutukan hingga Hari Pembalasan." Ia berkata, "Ya Rabb-ku (Tuhan­-ku), maka berilah aku tangguh hingga hari mereka akan di­bangkitkan." Dia berfirman, "Maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang diberi tangguh, hingga hari yang waktunya telah ditetapkan." Ia berkata, "Ya Rabb-ku (Tuhan­-ku), karena Engkau telah me­mutuskan aku sesat, niscaya aku akan jadikan [kesesatan] ditampak­kan indah bagi mereka di bumi, dan niscaya akan kusesatkan mereka itu semua, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis dari antara mereka." Dia berfirman, "Inilah jalan-Ku yang lurus. Sesungguhnya hamba­-hamba-Ku, tidak ada bagi engkau kekuasaan atas mereka, kecuali yang mengikuti engkau di antara orang-orang sesat. Dan sesungguhnya Jahan­nam adalah tempat yang telah dijanjikan bagi mereka semua. Baginya ada tujuh pintu, untuk setiap pintu dari mereka ada bagian yang ditentukan. (Al-Hijr [15]:29-45).
Di dalam ayat-ayat Al-Quran berkenaan dengan penciptaan Khalifah Allah yakni Adam a.s. ada dua sebutan manusia yang dipergunakan -- sebagaimana contohnya dalam firman-Nya di atas -- yaitu insaan dan basyar. Sebutan lainnya yang dipergunakan Allah Ta’ala untuk menyebut manusia adalam naas, dan ins.
Perbedaan sebutan mengenai manusia tersebut mengandung makna yang satu sama lain berbeda:
  1. Sebutan naas dipergunakan untuk penyebutan manusia secara umum, tanpa membedakan antara orang-orang yang beriman mau pun orang-orang kafir serta perbedaan suku dan warna kulit (disebutkan sekitar 241 kali di antaranya Qs.4:2; Qs.49:14; Qs.7:159; Qs.114:2-7).
  2. Sebutan ins dipergunakan untuk penyebutan manusia berdasarkan perbedaan golongan atau perbedaaan status sosialnya (disebutkan sekitar 18 kali, di antaranya Qs.6:113, 129, 131, Qs.7:39, 180; Qs.17:89; Qs.27:18; Qs.41:26, 30, Qs.46:19; Qs.51:57; Qs.55:34, 40, 57; Qs.72:5).
  3. Sebutan insaan dipergunakan untuk penyebutan manusia secara khusus, yakni dengan mengisyaratkan akan berbagai kemampuan fitrat yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada mereka, baik mereka itu mensyukurinya atau pun tidak menysukurinya (ada sekitar 65 buah, di antaranya Qs.10:13; Qs. 76:2; Qs.99:4).
Mirza Ghulam Ahmad - Imam Mahdi dan Al-Masih Mau’ud a.s. -- menjelaskan, bahwa insaan berasal dari kata unsan yang berarti dua kecintaan, yakni dalam diri seorang insaan terdapat dua macam kecintaan: (1) kecintaan terhadap Allah Ta’ala yang membuatnya melaksanakan haququllah, dan (2) kecintaan terhadap sesama hamba Allah, yang membuatnya melaksanakan haququl ‘ibaad, kedua pelaksanaan kecintaan tersebut merupakan dua hal pokok peribadahan dalam ajaran Islam, firman-Nya:
Hai insaan (manusia), sesungguhnya engkau bekerja keras menuju Rabb (Tuhan) engkau dengan sebenar-benar kerja keras, sehingga bertemu dengan-Nya (Al-Insyiqaaq [84]:7).
  1. Sebutan basyar terutama sekali dipergunakan sehubungan dengan seorang nabi (rasul) Allah, dengan demikian penggunaan kata basyar lebih khusus daripada sebutan insaan. Di dalam Al-Quran kata basyar disebutkan sebanyak 37 kali -- termasuk kata basyarayni (Qs.23:48) -- di antaranya Qs.11:28; Qs.12:32; Qs.15:29; Qs.17:94; Qs.64:7), firman-Nya:
“....Atau engkau mempunyai sebuah rumah dari emas atau engkau naik ke langit. Dan sekali-kali kami tidak akan pernah percaya akan kenaikan engkau [ke langit] sehingga engkau turunkan kepada kami sebuah kitab yang dapat kami membacanya.” Katakanlah, “Maha Suci Rabb-ku (Tuhan-ku), aku tidak lain melainkan seorang manusia [sebagai] seorang rasul.” (Bani Israil [17]:94).

Makna-makna Kiasan Asal Penciptaan Manusia, Jin dan Iblis & Hakikat Pengusiran Iblis dari "Jannah"

Kembali kepada firman Allah Ta’ala dalam Qs.15:29-45 mengenai arti ungkapan kalimat:
Sesungguhnya Aku hendak menciptakan basyar manusia) dari tanah liat kering yang mendenting, dari lumpur hitam yang telah diberi bentuk”,
ada sebuah ungkapan Al-Quran yang serupa ini yakni “manusia dijadikan dari ketergesa-gesaan” (Qs.21:38), menunjukkan, bahwa ayat yang sedang dalam pembahasan ini berarti, bahwa jin memiliki pembawaan (sifat) seperti api dan bukan bahwa makhluk jin itu sesungguhnya dibuat dari api. Dengan demikian "dijadikannya dari tanah liat" mengandung arti berpembawaan lemah-lembut dan suka tunduk (patuh-taat), sedangkan "dijadikannya dari api" mengandung arti bertabiat seperti api dan mudah menyala.
Di dalam ayat ini silah sajada (sujud) adalah lawan yang artinya kadang­-kadang "sujudlah kepadanya" dan kadang-kadang "sujudlah bersamanya." Para ahli tafsir menterjemahkan "kepadanya" yakni, sujudlah kepada Adam." Namun ini bertentangan dengan ajaran Al-Quran. Arti yang kedua adalah "jatuhkanlah diri kamu sujud bersama Adam." Yakni “sebagaimana Adam hanya menyembah Allah Ta’ala, kamu juga hanya menyembah Dia.” Atau dapat juga diterjemahkan “jatuhkanlah diri kamu sujud kepada Allah bagi Adam”, sebab Adam merupakan Khalifah Allah, sehingga sudah selayaknya para malaikat harus mendukung sepenuhnya perjuangan suci Khalifah Allah (Adam), yakni para Rasul Allah.
Allah Ta’ala menghukum syaitan (Qs.15:35-36) atas pembangkangannya terhadap perintah yang ditujukan kepada para malaikat (Qs.15:29-0), sebab perintah yang diberikan kepada malaikat-malaikat itu, dengan sendirinya berlaku pula bagi semua makhluk yang berada di bawah wewenang malaikat-malaikat. Al-Quran sendiri di tempat lain membuat jelas, bahwa perintah kepada malaikat berlaku untuk iblis juga (Qs.7:12- 13).
Ungkapan bahasa Arab “Hai iblis, apakah yang telah terjadi dengan engkau” itu berarti pula, “apa gerangan yang membuat kau menderita; apakah alasan engkau; kenapa gerangan engkau ini?” Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kata ganti haa dalam ungkapan fakhruj minhaa (keluarlah darinya) tidak menunjuk kepada surga di akhirat, sebab surga itu suatu tempat yang syaitan tidak mungkin memasukinya dan menggoda Adam a.s., dan dari tempat itu, tiada seorang pun akan dikeluarkan (Qs.15:49).
Kata ganti haa (minhaa) itu menunjuk kepada keadaan nikmat dan bahagia, yang dialami oleh manusia di dunia ini, sebelum seorang nabi Allah datang kepada mereka. Dalam keadaan demikian, kendatipun mungkin mereka terperosok ke dalam kepercayaan-kepercayaan yang keliru, namun karena belum sampai menolak seorang nabi, mereka sama sekali tidak mahrum (luput) dari anugerah nikmat-nikmat Ilahi yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai jannah (kebun).
Namun ketika mereka mendustakan dan menentang Kalifah Allah atau nabi Allah yang diutus kepada mereka (Qs.7:35-37), maka Allah Ta’ala mengeluarkan (mengusir) mereka dari berbagai “surga” kenikmatan dan karunia Allah yang sebelumnya mereka nikmati. Berikut firman-Nya tentang diusir-Nya Fir’aun dari berbagai kenikmatan hidup yang sebelumnya dinikmati olehnya dan oleh para leluhurnya (dinasti Fir’aun):
Dan Fir’aun mengumumkan kepada kaumnya dengan berkata, “ Hai kaumku! Bukanlah kerajaan Mesir ini milikku dan sungai-sungai ini mengalir di bawahku? Maka apakah kamu tidak melihat? Ataukah aku lebih daripada orang ini yang hina dan ia tidak dapat menjelaskan? Mengapa tidak dianugerahkan kepadanya gelang-gelang dari emas, atau datang bersamanya malaikat-malaikat untuk mengiringinya?” Maka ia memperbodoh kaumnya lalu mereka patuh kepadanya, sesungguhnya mereka adalah kaum durhaka. Maka ketika mereka membuat Kami murka, Kami menuntut balas dari mereka dan Kami menenggelamkan mereka semua, dan Kami menjadikan mereka kisah yang lalu dan misal (perumpamaan) bagi [generasi] yang akan datang. (Az-Zukhruf [43]:53-57). Lihat pula Qs.26:53-60; Qs.44:23-30; Qs.7:176-178.
Berikut adalah pengusiran dari “surga” nikmat-nikmat dan karunia-karunia ruhani yang sebelumnya dinikmati orang-orang tertentu, yang kemudian bersikap takabur terhadap Khalifah Allah (nabi Allah), di antaranya adalah Bal’am bin Baura (Bileam bin Beor), sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, firman-Nya:
Dan ceritakanlah kepada mereka kisah orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya Tanda-tanda Kami, lalu ia mele­paskan diri darinya, maka syaitan mengikutinya dan jadilah ia di antara orang-orang yang sesat, padahal jika Kami meng­hendaki niscaya Kami meninggi­kannya dengan [Tanda-tanda] itu,akan tetapi ia cenderung ke bumi (dunia) dan mengikuti hawa nafsunya, maka keadaannya seperti seekor anjing kehausan, jika engkau menghalau­nya ia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya ia menjulurkan lidahnya. Demikianlah tamsilan (perumpamaan) orang-orang yang mendustakan Tanda-tanda Kami. Maka kisahkanlah kisah ini supaya mereka merenungkan. Amatlah buruk keadaan orang-orang yang mendustakan Tanda-tanda Kami, dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. Barangsiapa kepadanya Allah memberi petunjuk maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa Dia sesatkan maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan, sungguh Kami benar-benar telah menciptakan untuk Jahan­nam banyak di antara jin dan ins (manusia). Mereka mempunyai hati tetapi mereka tidak mengerti dengan itu, dan mereka mempunyai mata, tetapi mereka tidak melihat dengannya; dan mereka mempunyai telinga, tetapi mereka tidak mendengar dengannya. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai (Al-A’raaf [7]:176-180).
Yang dimaksudkan dalam ayat-ayat ini bukanlah seseorang tertentu melainkan semua orang yang kepada mereka Allah Ta’ala memperlihatkan Tanda-tanda atau mukjizat melalui seorang nabi Allah tetapi mereka menolaknya. Ungkapan semacam itu terdapat di tempat lain dalam Al-Quran, firman-Nya:
Keadaan mereka seperti seorang yang menyalakan api, dan tatkala api itu telah menyinari apa yang ada di sekelilingnya maka Allah melenyapkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, mereka (Al-Baqarah [2]:18).
Ayat itu (Qs.7:176-178) telah dikenakan secara khusus kepada seorang yang bernama Bal'am bin Ba'ura yang menurut kisah pernah hidup di zaman Nabi Musa a.s. dan konon dahulunya ia seorang wali Allah, namun kesombongan merusak pikirannya dan ia mengakhiri hidupnya dalam kenistaan. Ayat itu dapat juga dikenakan kepada Abu Jahal atau Abdullah bin Ubbay bin Salul atau dapat pula kepada tiap-tiap pemimpin kekafiran.
Yalhats dari lahatsa, yang berarti nafasnya tersengal-sengal karena kelelahan atau kepenatan, maksudnya ialah, baik diminta ataupun tidak untuk berkurban pada jalan agama, orang semacam itu nampaknya terengah-engah seperti seekor anjing kehausan, seakan-akan beban pemberian pengurbanan yang terus menerus bertambah membuatnya amat penat sekali.

Sehubungan dengan Qs.7:180, huruf lam di sini adalah lam 'aqibat, yang menyatakan kesudahan atau akibat. Dengan demikian ayat ini tidak ada hubungannya dengan tujuan kejadian manusia melainkan hanya menyebutkan kesudahan yang patut disesalkan mengenai kehidupan kebanyakan ins (manusia) dan jin (kata jin itu juga mempunyai arti golongan manusia yang istimewa, yakni, penguasa-penguasa atau pemuka­-pemuka atau orang-orang besar). Dari cara mereka menjalani hidup mereka dalam berbuat dosa dan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala nampak seolah-olah mereka telah diciptakan untuk masuk neraka jahannam.
Sehubungan dengan pengusiran dari “surga keridhaan” Allah Ta’ala tersebut, berikut adalah tekad Iblis dalam melakukan penentangannya terhadap Adam dan para pengikutnya, firman-Nya:
Dia berfirman, "Maka pergi­lah engkau darinya, karena tidak patut bagi engkau berlaku sombong di dalamnya. Keluarlah, sesung­guhnya engkau termasuk di antara orang-orang hina." Ia berkata, "Berilah aku tangguh sampai hari mereka akan dibangkitkan.” Dia berfirman, "Sesung­guhnya engkau termasuk orang-orang yang diberi tangguh." (Al-A’raaf [7]:14-16). Lihat pula Qs.15:35-37; Qs.38:78-80.
Oleh karena tidak ada kata-benda disebut-sebut dalam ayat ini yang dapat dianggap lebih ditampilkan oleh kata pengganti ha (nya) dalam ungkapan minha (darinya), maka kata-pengganti itu -- “pergilah engkau darinya” -- dapat diartikan menyatakan ihwal (keadaan) iblis sebelum ia menolak sujud kepada Adam a.s.., yakni iblis terusir dari “surga keridhaan Ilahi” yang sebelumnya ia nikmati, atau bahkan dari karunia Ilahi sebagai seorang yang memperoleh qurub Ilahi (kedekatan dnegan Allah Ta’ala), sebagaimana yang dialami oleh Bal’am bin Baura (Beliem bin Beor) -- seorang wali Allah -- sebelum ia kemudian menjadi penentang Nabi Musa a.s. (Qs.7:176-178 & 183; Qs.8:53-55).
Kebangkitan yang disebut dalam ayat ini bukan Kiamat Besar (Kiamat Kubra) umat manusia yang ditakdirkan untuk menjelang alam akhirat, melainkan kebangkitan ruhani manusia atau keadaan pada saat alam-sadar ruhaninva telah sepenuh-penuhnya berkembang.

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar