Rabu, 16 September 2009

Kisah Monumental "Adam-Malaikat-Iblis"


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

 

KISAH-KISAH MONUMENTAL 

  DALAM AL-QURAN


  Kisah Monumental "Adam-Malikat-Iblis"
 
oleh 
Ki Langlang Buana Kusuma
Sebelum membahas berbagai macam mukjizat para Rasul Allah tersebut, terlebih dulu perlu menjelaskan beberapa Kisah Monumental yang terdapat dalam Al-Quran. Pertama adalah Kisah Monumental “Adam, Malaikat, Iblis, yang dari zaman ke zaman senantiasa terulang kembali dengan para pemeran yang berbeda, tetapi pada hakikatnya tetap para pelakunya tetap memerankan peran Adam (khalifah Allah), peran malaikat dan peran iblis, firman-Nya:
Dan [ingatlah] ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman kepada para malaikat. "Sesungguhnya Aku hendak men­jadikan seorang khalifah di bumi." Berkata mereka, "Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan akan menumpahkan darah? Padahal kami bertasbih dengan pujian Engkau dan kami menguduskan Engkau." Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (Al-Baqarah [2]:31).
Kata qala dalam bahasa Arab yang lazim dan berarti ia berkata, tetapi kadang-kadang dipakai dalam arti kiasan, bila yang dimaksudkannya bukan pernyataan kata kerja melainkan keadaan yang sesuai dengan arti kata kerja itu. Ungkapan: Imtala'a al-haudhu wa qala qathni (kolam itu menjadi penuh dan ia berkata, "Aku sudah penuh") tidak berarti bahwa kolam itu benar-benar berkata demikian, hanya keadaannya mengandung arti bahwa dengan ungkapan lisan kolam itu sudah penuh. Dengan demikian ayat ini pun hanya berarti bahwa para malaikat itu dengan peri keadaan mereka, menyiratkan jawaban yang di sini dikaitkan kepada mereka.
Percakapan antara Allah Ta’ala dan para malaikat tidak perlu diartikan secara harfiah sebagai sungguh-sungguh telah terjadi. Seperti dinyatakan di atas, kata qala itu kadang-kadang dipakai dalam arti kiasan, untuk mengemukakan hal yang sebenarnya bukan suatu ungkapan lisan, melainkan hanya keadaan yang sama dengan kata-kata yang diucapkan mereka.
Malaaikah (para malaikat) yang adalah jamak dari malak diserap dari malaka, yang berarti: ia mengendalikan, mengawasi; atau dari alaka, artinya, ia mengirimkan. Para malaikat disebut demikian, sebab mereka mengendalikan kekuatan-kekuatan alam, atau mereka membawa wahyu Ilahi kepada utusan-utusan (rasul-rasul) Allah dan pembaharu-pembaharu samawi (reformer), firman-Nya:
firman-Nya:
Segala puji milik Allah, Pencipta seluruh langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat-malaikat sebagai rasul-rasul (utusan-­utusan) yang bersayap dua, tiga dan empat. Dia menambahkan dalam ciptaan apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Faathir [35]:2).
Kepada malaikat-malaikat dipercayakan menjaga, mengatur, dan mengawasi segala urusan yang berlaku di alam jasmani (Qs.79:6). Inilah tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepada mereka. Tugas mereka yang lain dan yang lebih berat ialah, melaksanakan perintah dan kehendak Allah Ta’ala kepada rasul-rasul­-Nya.
Malaikat-malaikat pembawa wahyu menampakkan serentak dua, tiga, atau empat sifat Ilahi, dan ada pula malaikat lain, yang bahkan menjelmakan lebih banyak lagi dari sifat-sifat itu. Karena ajnihah (sayap) merupakan lambang kekuatan dan kemampuan (Lexicon Lane), ayat ini mengandung arti, bahwa malaikat-malaikat itu memiliki kekuatan dan sifat yang berbedaan derajatnya sesuai dengan kepentingan pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka masing-masing.
Sebagian malaikat dianugerahi kekuatan-kekuatan dan sifat-sifat yang lebih besar daripada yang lain. Malaikat Jibril adalah penghulu semua malaikat dan, oleh karena itu pekerjaan mahapenting, yakni menyampaikan wahyu Ilahi kepada para rasul Allah, diserahkan kepadanya serta dilaksanakan di bawah asuhan dan pengawasannya.
Jawaban yang dikemukakan para malaikat bukan merupakan sikap keberatan mereka terhadap rencana Ilahi atau mengaku diri mereka lebih unggul daripada Adam a.s.. Pertanyaan mereka didorong oleh pengumuman Allah Ta’ala mengenai rencana-Nya untuk menjadikan seorang khalifah.
Wujud khalifah diperlukan bila tertib (ketertiban) harus ditegakkan dan hukum harus dilaksanakan. Keberatan semu para malaikat menyiratkan bahwa, sebagai reaksi atas keberadaan wujud Khalifah Allah tersebut maka akan ada orang-orang atau pihak-pihak di bumi yang akan membuat kekacauan (kerusakan) dan tertumpahnya darah di pihak Khalifah Allah dan para pengikutnya
Karena manusia dianugerahi kekuatan-kekuatan besar untuk berbuat baik dan jahat, para malaikat hanya menyebut segi gelap tabiat manusia, tetapi Allah Ta’ala mengetahui bahwa manusia dapat mencapai tingkat akhlak yang sangat tinggi, sehingga ia dapat menjadi cermin (bayangan) sifat­-sifat Ilahi. Firman Allah Ta’ala, “Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”, menyebutkan segi terang tabiat manusia.

Hakikat Pertanyaan Para Malaikat &
Makna Kata Tasbih

Pertanyaan para malaikat, bukan sebagai celaan terhadap perbuatan Allah Ta’ala melainkan sekedar mencari ilmu yang lebih tinggi mengenai sifat dan hikmah pengangkatan itu. Sementara tasbih (memuji) dipakai bertalian dengan sifat-sifat Allah Ta’ala maka taqdis (menyanjung kekudusan-Nya) dipergunakan tentang tindakan-tindakan-Nya, firman-Nya:
Bertasbih bagi Allah segala yang ada di seluruh langit dan bumi, dan Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (Al-Hadiid [57]:2). Lihat pula Qs.17:45; Qs.24:42; Qs.61:2; Qs.62:2; Qs.64:2.
Kalimat Sabbaha fii hawaa'yihi artinya: ia menyibukkan diri dalam mencari nafkah. atau sibuk dalam urusannya. Sabh berarti, mengerjakan pekerjaan, atau mengerjakannya dengan usaha sekeras-kerasnya serta secepat-cepatnya, dan ungkapan subhaanallaah (Mahasuci Allah) menyatakan kecepatan pergi berlindung kepada Allah Ta’ala dan kesigapan melayani dan menaati perintah-Nya.
Mengingat akan arti dasar kata ini, masdar isim (kata benda infinitif) tasbih dari sabbaha artinya, menyatakan bahwa Allah Ta’ala itu bebas dari segala kekurangan atau aib, atau cepat-cepat memohon bantuan ke hadirat-Nya dan sigap dalam menaati Dia, sambil mengatakan “Subhaanallaah - Maha Suci Allah” (Lexicon Lane).
Oleh karena itu ungkapan ayat ini “Bertasbih bagi Allah segala yang ada di seluruh langit dan bumi” berarti, bahwa segala sesuatu di alam semesta sedang melakukan tugasnya masing-masing dengan cermat dan teratur, dan -- dengan memanfaatkan kemampuan-kemampuan serta kekuatan-kekuatan yang dilimpahkan Allah Ta’ala kepadanya -- memenuhi tujuan ia diciptakan dengan cara yang sangat menakjubkan, sehingga mau tidak mau harus mengambil kesimpulan, bahwa Allah Ta’ala, Sang Perencana dan Arsitek alam semesta ini sungguh Maha Kuasa dan Maha Bijaksana, dan bahwa seluruh alam semesta secara keseluruhan dan tiap-tiap makhluk secara individu -- serta dalam batas kemampuannya masing-masing -- memberi kesaksian mengenai kebenaran yang tidak dapat dipungkiri, bahwa karya cipta Allah Ta’ala itu mutlak bebas dari setiap kekurangan, aib atau ketidaksempurnaan dalam segala seginya yang beraneka ragam dan banyak itu.
Itulah maksud kata tasbih yang dipergunakan Allah Ta’ala dalam Al-Quran berkenaan dengan para malaikat maupun tatanan alam semesta, sebab pada hakikatnya kedudukan para malaikat merupakan instrument yang bertugas melaksanakan berbagai kehendak Allah Ta’ala atau berbagai ketentuan (hukum) yang telah ditetapkan Allah Ta’ala bagi segala sesuatu, firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari Api yang bahan bakarnya manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi pula keras, tidak mendurhakai apa pun yang diperintahkan Allah kepada mereka dan mereka mengerjakan apa pun yang diperintahkan.(At Tahriim [66]:7).

Nabi Adam a.s. dan Tempat Tinggalnya

Adam a.s. yang hidup kira-kira 6000 tahun yang lalu, umumnya dipercayai sebagai orang yang pertama sekali diciptakan oleh Allah Ta’ala di atas muka bumi. Tetapi, pandangan itu tidak didukung oleh Al-Quran. Dunia telah melalui berbagai daur (peredaran) kejadian dan peradaban; dan Nabi Adam a.s. leluhur umat manusia zaman ini, hanya merupakan mata-rantai pertama dalam daur peradaban sekarang dan bukan orang pertama makhluk ciptaan Allah Ta’ala.
Kenapa demikian? Sebab bangsa-bangsa telah timbul tenggelam, peradaban telah muncul dan lenyap. Adam-adam lain telah lewat sebelum Adam a.s. yang dikemukakan Bibel mau pun Al-Quran, demikian juga bangsa-bangsa (kaum-kaum) lain telah hidup dan binasa, dan daur-­daur peradaban lainnya telah datang dan pergi (Qs.7:35-37).
Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar mengatakan bahwa, sekali peristiwa ia dirinya dalam mimpi sedang thawaf di Ka'bah. Dalam mimpi itu seorang yang menyatakan dirinya sebagai seorang dari nenek moyangnya (leluhurnya) nampak di hadapan beliau. “Berapa lamanya sudah lewat sejak Anda meninggal?"' tanya Ibn ‘Arabi. "Lebih dari empat puluh ribu tahun", jawab orang itu." Kata Ibn ‘Arabi lagi, “ Tetapi masa itu jauh lebih lama dari masa yang memisahkan kita dari Adam." Orang itu menjawab, "Tentang Adam yang mana engkau bicara? Tentang Adam yang terdekat kepada engkau atau tentang Adam lain?" Selanjutnya kata Ibnu ‘Arabi, “Maka aku ingat suatu sabda Nabi Besar Muhammad saw. yang maksudnya, bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan tidak kurang dari 100.000 Adam, dan saya berkata dalam hati: Barangkali orang yang mengaku dirinya datukku (leluhurku) ini seorang dari Adam-adam terdahulu" (Futuhat-ul-Makiyyah, II, hlm. 607).
Tidak dikatakan dalam Bible mau pun Al-Quran bahwa keturunan (generasi) yang hidup sebelum Nabi Adam a.s. seluruhnya telah lenyap sebelum beliau dilahirkan. Mungkin sekali ketika itu masih ada sedikit sisa yang tertinggal dari keturunan purba itu, dan Nabi Adam a.s. itu seorang dari antara mereka. Kemudian Allah Ta’ala memilihnya menjadi leluhur (mata-rantai pertama) keturunan baru dan pelopor serta pembuka jalan peradaban baru.
Nabi Adam a.s. diijadikan seakan-akan dari yang telah mati, beliau melambangkan terbitnya fajar zaman kehidupan baru. Karena khalifah berarti penerus maka jelas sekali manusia telah ada hidup di bumi ini, sebelum kemudian Nabi Adam a.s. Adam a.s. dan jama’ahnya menggantikan mereka, dan kita tak dapat mengatakan apakah penduduk asli Amerika, Australia, dan sebagainva itu keturunan Adam a.s. terakhir ini atau dari Adam lain yang telah lewat sebelum beliau.
Banyak telah dibicarakan mengenai tempat kelahiran Adam a.s. atau di mana beliau diangkat sebagai mushlih (pembaharu). Pandangan umum ialah beliau ditempatkan di suatu tempat di surga, namun kemudian diusir dari situ, lalu ditempatkan di suatu tempat di dunia.
Tetapi kata-kata di bumi menyangkal pandangan itu, dan secara pasti mengemukakan bahwa Nabi Adam a.s. hidup di bumi dan di bumi pula beliau diangkat sebagai pembaharu (nabi Allah). Sangat besar kemungkinan beliau untuk pertama kali tinggal di Irak, tetapi kemudian diperintahkan berhijrah ke suatu negeri tetangga di wilayah Timur Tengah, sebagaimana juga dikemukakan dalam Bible bahwa Nabi Adam a.s. dan istrinya kemudian bertempat tinggal di sebuah wilayah sebelah timur Taman Eden atau jannah (kebun):
Lalu Tuhan Allah mengusir dia dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah darimana ia diambil. Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkanNya beberapa kerub dengan pedang yang menyala-nyala dan menyambar-nyambar untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan. (Kejadian 3:23-34).
Dalam firman-Nya berikut ini dijelaskan, bahwa sebelum Allah Ta’ala memerintahkan para malaikat untuk “bersujud” kepada Adam, terlebih dulu diterangkan tentang penciptaan manusia secara umum, hal tersebut membuktikan bahwa Nabi Adam a.s. yang dikemukakan Bible dan Al-Quran, bukanlah manusia pertama yang diciptakan Allah Ta’ala di muka bumi ini, firman-Nya:
“Dan sungguh Kami benar-benar telah menciptakan kamu, kemudian Kami memberimu bentuk, lalu Kami berfirman kepada malaikat-malaikat, “Sujudlah kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia tidak termasuk di antara orang-orang yang sujud” (Al-A’raaf [7]:12).
Ungkapan kalimat “Kami memberimu bentuk” mengisyaratkan bahwa manusia dapat menuangkan wujud akhlaknya ke dalam berbagai bentuk, sebagaimana “tanah liat” (thiin) mudah diberi bentuk (dibentuk) apa pun oleh perajin tembikar. Dan dikarenakan di antara manusia yang ada di zaman itu Adam adalah yang paling sempurna dalam memperagakan kepatuh-taatannya kepada Allah Ta’ala, maka Dia telah memilihnya sebagai seorang Khalifah-Nya (Khalifah Allah) di masa itu, untuk mendirikan suatu tertib baru (tatanan kehidupan baru) dalam masyarakat manusia menggantikan tertib lama (tatanan kehidupan lama) yang berlaku, itulah sebabnya Allah Ta’ala telah memerintahkan para malaikat untuk “sujud” kepada Adam, walau pun sebelumnya para malaikat mengemukakan “pendapat” mereka kepada Allah Ta’ala tentang kemungkinan akan munculnya orang-orang yang akan melakukan penentangan terhadap Khalifah-Nya (Adam) sehingga timbul kerusakan dan penumpahan darah di muka bumi, sebagaimana firman-Nya sebelum ini:
Dan [ingatlah] ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman kepada para malaikat. "Sesungguhnya Aku hendak men­jadikan seorang khalifah di bumi." Berkata mereka, "Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan akan menumpahkan darah? Padahal kami bertasbih dengan pujian Engkau dan kami menguduskan Engkau." Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (Al-Baqarah [2]:31).

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid




Tidak ada komentar:

Posting Komentar