Rabu, 30 September 2009

Berbagai Cara Iblis Menghadang di Jalan Allah


 

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

   

KISAH-KISAH MONUMENTAL 

  DALAM AL-QURAN


  Berbagai Cara Iblis Menghadang di Jalan Allah  
  
oleh 

Ki Langlang Buana Kusuma
 

Iblis hanya dapat membawa ke jalan kesesatan selama manusia secara ruhani belum dibangkitkan. Tetapi begitu ia mencapai martabat ruhani yang tinggi -- sebagaimana dikenal dengan istilah baqa (kelahiran kembali) -- maka iblis tidak dapat mencelakakannya (Qs.17: 66), firman-Nya:
Ia berkata, "Disebabkan Engkau telah menyatakan aku sesat maka pasti aku akan duduk menghadang mereka di jalan Engkau yang lurus, kemudian pasti akan kudatangi mereka dari depan mereka, dari belakang mereka, dari kanan mereka dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka yang bersyukur." Dia berfirman, "Ke­luarlah darinya [dalam keadaan] terhina dan terusir. Sesungguh­nya barangsiapa dari antara mereka akan mengikuti engkau, niscaya akan Aku penuhi Jahannam dengan kamu sekalian." (Al-A’raaf [7]:17-19). Lihat pula a(15 : 40; 38 : 83). b(11 : 20; 15: 43. 44; 32 : 14; 38 : 86.)
Mengenai ancaman iblis untuk melakukan penghadangan di jalan Allah tersebut dijelaskan pula dalam firman-Nya berikut ini:
Dia berfirman, "Pergi­lah! Maka barangsiapa mengikuti engkau dari antara mereka, niscaya jahannamlah balasan bagi kamu sekalian, suatu balasan yang penuh. Dan bujuklah siapa dari antara mereka yang engkau sang­gup membujuk dengan suara engkau, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda engkau dan pasukan berjalan-kaki engkau dan berserikatlah dengan mereka dalam harta dan anak-anak, dan berjanjilah kepada mereka.” Dan syaitan tidak menjanjikan kepada mereka selain tipu-daya. “Sesungguhnya hamba­-hamba-Ku, tidak ada bagi engkau kekuasaan atas mereka. Dan cukuplah Rabb (Tuhan) engkau sebagai Pelindung. (Bani Israil [17]:64-66).
Apakah iblis atau syaitan telah berhasil atau tidak dalam melaksanakan ancamannya untuk menyesatkan sejumlah besar umat manusia, merupakan soal yang penting dan perlu mendapat jawaban. Sebab satu pandangan yang tergesa-gesa dan tanpa disertai pikiran yang matang mengenai keadaan baik dan buruk di dunia ini, dapat membawa kita kepada kesimpulan yang salah, bahwa keburukan itu mengungguli kebaikan di dunia ini.
Tetapi hakikat yang sebenarnya adalah kebalikannya. Seandainya, sebagai misal, semua ucapanpendusta-pendusta terbesar diselidiki secara kritis. maka ucapan-ucapannya yang mengandung kebenaran jumlahnya akan nampak jauh melebihi ucapan-ucapannya yang dusta. Demikian pula jumlah orang-orang buruk di dunia ini jauh di bawah jumlah orang-orang baik.
Kenyataan bahwa keburukan itu mendapat perhatian begitu besar, justru menjadi bukti bahwa fitrat manusia pada dasarnya baik dan menjadi cemas menyaksikan keburukan bagaimanapun kecilnya. Oleh sebab itu tidak benar untuk beranggapan bahwa iblis atau syaitan telah berhasil dalam melaksanakan ancamannya dalam bentuk kenyataan.
Ayat selanjutnya menguraikan jaringan godaan-godaan dan bujukan-bujukan yang diancamkan oleh iblis dan syaitan, yaitu tiga macam daya-upaya yang dilakukan oleh putra-putra kegelapan kebenaran: untuk membujuk manusia supaya menjauhi jalan
(1) mereka berusaha menakut-nakuti orang-orang miskin dan lemah dengan ancaman akan mempergunakan kekerasan terhadap mereka.
(2) mereka mempergunakan tindakan-tindakan yang lebih keras terhadap orang-orang yang tidak dapat ditakut-takuti dengan cara ancaman, yaitu dengan mengadakan persekutuanuntuk tujuan melawan mereka dan mengadakan serangan bersama terhadap mereka dengan segala cara.
(3) mereka mencoba membujuk orang-orang kuat dan yang lebih berpengaruh dengan tawaran akan menjadikannya pemimpin mereka, asalkan mereka tidak akan membantu lagi pihak kebenaran.
Ketiga macam daya-upaya yang dilakukan oleh Iblis dan sekutu-sekutunya terhadap Adam a.s. dan para pengikutnya itulah yang mengakibatkan timbulnya kerusakan dan menumpahkan darah di muka bumi, sebagaimana yang dikemukakan para malaikat, firman-Nya:
Dan [ingatlah] ketika Rabb (Tuhan) engkau berfirman kepada para malaikat. "Sesungguhnya Aku hendak men­jadikan seorang khalifah di bumi." Berkata mereka, "Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan akan menumpahkan darah? Padahal kami bertasbih dengan pujian Engkau dan kami menguduskan Engkau." Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (Al-Baqarah [2]:31).
Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman::
Dan. Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat dan berfirman, "Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama ini jika kamu berkata benar.” Mereka berkata, “Mahasuci Engkau, kami tidak mempunyai ilmu kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui, Maha­bijaksana." Dia berfirman, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-­nama itu" maka tatkala disebut­kannya kepada mereka nama-nama itu, Dia berfirman, "Bukankah telah Aku katakan kepadamu, sesungguh­nya Aku mengetahui rahasia seluruh langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu zahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" (Al-Baqarah [2]:32-34).
Hakikat Sebutan “Jannah” Kepada
Tempat Tinggal Adam dan Istrinya

Setelah Adam memperoleh “pembentukan” secara sempurna oleh Allah Ta’ala dan terbukti beliau mampu menyebutkan yakni memperagakan Asmaa (Sifat-sifat sempurna) Allah Ta’ala selanjut Allah Ta’ala memerintahkan Adam dan “istrinya” atau “jama’ahnya” (Qs.66:11) untuk bertempat tinggal di dalam “jannah” (kebun) yang umumnya artikan surga, firman-Nya:
Dan Kami berfirman, "Hai Adam, tinggallah engkau dan isteri engkau dalam kebun ini, dan makanlah darinya sepuas hati di mana pun kamu berdua suka, tetapi janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, jangan-jangan kamu berdua termasuk orang-orang zalim (Al-Baqarah [2]:36).
Firman-Nya lagi:
Dan hai Adam, tinggal­lah engkau dan istri engkau di dalam kebun ini, maka makanlah dan minumlah dari mana saja kamu berdua sukai, tetapi janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, jangan-jangan kamu berdua termasuk orang-orang zalim." (Al-A’raaf [7]:20).
Kata jannah (kebun, taman) yang tercantum pada ayat ini, tidak memberi isyarat kepada surga -- yang ke dalamnya para ahli surga akan masuk setelah mengalami kematian -- melainkan mengisyaratkan kepada tempat seperti kebun di permukaan bumi ini, yang untuk pertama kali Adam a.s. disuruh tinggal.
Kata jannah itu tidak dapat ditujukan kepada surga; karena (1) di bumi inilah Adam a.s. disuruh tinggal (Qs.2:37); (2) surga adalah tempat para ahli surga di alam akhirat yang bila seseorang sudah memasukinya tidak pernah dikeluarkan lagi (Qs.15:49), sedangkan Adam a.s. harus meninggalkan jannah (kebun) itu, seperti dituturkan dalam ayat ini. (3) surga adalah “tempat tinggal” terakhir para ahli surga di alam akhirat sebagai hasil dari “beriman dan beramal shalih” dalam kehidupannya di dunia (Qs.2:26), oleh karena itu mustahil iblis atau syaitan berada di dalamnya bersama para ahli surga tersebut, sebab jika demikian maka para penghuni surga jalan menjalani kehidupannya di dalam surga tidak akan merasa tentram karena mereka harus tetap waspadatipu-daya Iblis dan syaitan sebagaimana ketika masih hidup di dunia ini. terhadap
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa jannah atau kebun tempat untuk pertama kalinya Adam a.s. tinggal tidak lain adalah tempat di bumi ini juga, yang telah diberi nama jannah (kebun) karena kesuburan tanahnya dan penuh dengan tumbuh-tumbuhan (pepohonan). Penyelidikan akhir-akhir ini telah membuktikan bahwa jannah atau kebun itu adalah Taman Eden yang terletak dekat Babilonia atau Assyiria (Encyclopaedia Britanica, pada kata “Ur”).
Ungkapan "makanlah darinya sepuas hati di mana pun kamu berdua suka" menunjukkan bahwa tempat Adam a.s. dan istrinya tinggal, belum berada di bawah ke­kuasaan hukum seseorang, dan merupakan apa yang dapat disebut "tanah Tuhan" yang diberikan kepada Adam a.s. dan oleh karena itu seolah-olah dijadikan pemilik semua tanah yang dijelajahi beliau.
Kata jannah (kebun), junnatu (segala sesuatu yang dapat melindungi dari ancaman senjata, perisai), janiini (janin) , jananu (kubur), janaanu (ruh/jiwa/hati), jinnatun (gila) dll, memiliki makna yang sama dengan kata jin, berasal dari kata janna, yang mengandung arti: menutupi, menyembunyikan atau melindungi dari sesuatu.
Suatu tempat layak disebut jannah (kebun), apabila tempat tersebut memiliki kemampuan menutupi,menyembunyikan atau melindungi orang-orang yang berada di dalamnya dari sesuatu yang membahayakan, karena memiliki banyak pohon besar yang berdaun rimbun dan pepohonannya lebat dengan berbagai macam buah-buahan, sehingga:
  1. kebun tersebut dapat menyembunyikan dan melindungi penghuninya dari berbagai bentuk bahaya yang datang dari luar kebun dan juga melindungi mereka dari sengatan terik matahari.
  2. kebun tersebut dapat menjamin keperluan makanan bagi penghuninya dengan berbagai macam buah-buahan, sehingga penghuninya tidak akan kelaparan.
  3. kebun seperti itu akan terdapat banyak sumber mata air, sehingga penghuninya tidak akan kehausan.
Itulah pula sebabnya Allah Ta’ala pun di dalam Al-Quran telah menyebut surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih pun dengan sebutan jannah (kebun) pula, firman-Nya:
Dan berilah kabar suka kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, sesungguhnya untuk mereka ada kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, mereka berkata, “Inilah rezeki yang telah diberikan kepada kami dahulu”, dan akan diberikan kepada mereka yang serupa. Dan bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh yang suci, dan mereka akan kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah [2]:26). lihat pula Qs.3:134, 196, 199; Qs.4:14, 58, 123; Qs.5:13, 86; Qs.7:44; Qs.9:72, 89, 100; Qs.10:10; Qs.13:36; Qs.22:14, 24; Qs.25:11;; Qs.32:18; Qs.47:16; Qs.58:23; Qs.61:13; Qs.64:10).
Mengenai surga yang hakiki tersebut dengan tegas Allah Ta’ala berfirman “mereka akan kekal di dalamnya”, sedangkan mengenai “jannah” tempat tinggal Adam a.s. dan istrinya (jama’ahnya) diperingatkan terhadap upaya-upaya iblis yang bertekad untuk mengeluarkan mereka dari jannah (kebun) tersebut, firman-Nya:
Dan [ingatlah] ketika Kami berfirman kepada para malaikat, Sujudlah kamu kepada Adam” maka mereka sujud kecuali iblis, ia enggan (menolak). Kemudian Kami berfirman, "Hai Adam, sesungguhnya ini adalah musuh bagi engkau dan bagi istri engkau, maka janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari jannah maka kamu menderita kesusahan. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di dalam­nya, engkau tidak akan akan telanjang, engkau tidak akan kehausan di dalamnya dan engkau tidak akan disengat panas matahari." (Thaa Haa [20]:115-120).
Nabi Adam a.s. diperingatkan, bahwa jika beliau menyerah kepada bujukan syaitan dan menerima nasihatnya, beliau akan menjadi luput dari jannah (kebun) yaitu, kehidupan berbahagia dan ketenteraman ruhani yang sebelumnya telah beliau nikmati. Isyarat dalam ayat-ayat nampaknya ditujukan kepada kemudahan dan kesenangan yang tidak terpisahkan dari kehidupan beradab. Dua ayat ini mengisyaratkan kepada kenyataan, bahwa penyediaan pangan, sandang, dan perumahan bagi rakyat -- sarana-sarana keperluan hidup yang pokok -- merupakan tugas utama bagi suatu pemerintah beradab, dan bahwa suatu masyarakat, baru dapat dikatakan masyarakat beradab bila semua warga masyarakat itu dicukupi keperluan-keperluan tersebut di atas.
Umat manusia akan terus menderita dari pergolakan-pergolakan sosial, dan warna akhlak masyarakat umat manusia tidak akan mengalami perbaikan hakiki, selama kepincangan yang parah di bidang ekonomi -- yaitu sebagian lapisan masyarakat berkecimpung dalam kekayaan, sedang sebagian lainnya mati kelaparan -- tidak dihilangkan.
Adam a.s. diberitahukan di sini, bahwa beliau akan tinggal di sebuah tempat, di mana kesenangan dan keperluan hidup akan tersedia dengan secukupnya bagi semua penduduknya. Keadaan ini telah dijelaskan di tempat lain dalam Al-Quran dengan kata-kata, “Dan makanlah darinya sepuas hati di mana pun kamu berdua suka” (Qs.2:36). Ayat yang sedang dibahas ini menunjukkan pula, bahwa semenjak Nabi Adam a.s. mulailah suatu tata-tertib baru dalam kemasyarakatan, dan bahwa beliau meletakkan dasar pemerintahan, yang meratakan jalan bagi masa kemajuan manusia dalam bidang kemasyarakatan.  

(Bersambung).
 Rujukan: The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar