Rabu, 30 September 2009

Amanat Allah Swt. kepada Adam a.s. dan Bani Adam tentang Kedatangan Rasul-rasul Allah

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

   

KISAH-KISAH MONUMENTAL 

  DALAM AL-QURAN


Amanat Allah Swt. kepada Adam a.s. dan Bani Adam 
tentang Kedatangan Rasul-rasul Allah 
 oleh 

Ki Langlang Buana Kusuma

Kembali kepada firman Allah Ta’ala kepada Adam a.s. sebelum ini mengenai kedatangan petunjuk, firman-Nya:
Kemudian Adam menerima kalimat-kalimat dari Rabb-nya (Tuhan­nya) lalu Dia menerima taubatnya. Sesungguhnya, Dia Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. Kami berkata, "Pergilah kamu sekalian dari sini. Kemudian, jika datang kepadamu suatu pe­tunjuk dari Aku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku niscaya tak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih, tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan Tanda­-tanda Kami, mereka adalah penghuni Api, mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah [2]:38-40).
Firman Allah Ta’ala berikut ini menjelaskan mengenai arti kedatangan petunjuk dari Allah Ta’ala kepada Adam a.s. dan para pengikutnya, sebelum mereka diperintahkan berhijrah (keluar) dari jannah (kebun), yaitu kedatangan para rasul Allah yang akan dibangkitkan dari kalangan mereka, firman-Nya:
Dan bagi tiap-tiap umat ada batas waktu, maka, apabila telah datang batas waktunya, tidak dapat mereka mengundurkan barang sesaat pun dan tidak pula dapat memajukan. Wahai Bani Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul dari antaramu yang membacakan Ayat-ayat-Ku (Tanda-tanda-Ku) kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan mem­perbaiki diri maka tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. Tetapi orang-orang yang mendustakan Ayat-ayat Kami dan dengan takabur berpaling darinya, mereka itu penghuni Api; mereka akan kekal di dalamnya (Al-A’raaf [7]:35-37).
Ada pun yang dimaksud dengan kedatangan ajal (jangka waktu) setiap umat, adalah bahwa bila waktu yang ditetapkan untuk menghukum suatu umat (kaum) tiba karena ajalnya (jangka waktunya) telah tiba -- maka waktu itu tidak dapat dihindarkan diulur-ulur atau ditunda-tunda lagi.
Sudah merupakan sunnah Allah, bahwa sebelum Allah Ta’ala mengazab suatu kaum Dia terlebih dulu mengutus Rasul Allah sebagai pembawa kabar suka dan pemberi peringatan kepada mereka, supaya tidak ada alasan bagi mereka untuk menyalahkan Allah ketika azab Allah Ta’ala menimpa mereka, firman-Nya:
Barangsiapa telah mene­rima petunjuk maka sesungguhnya petunjuk itu untuk dirinya, dan barangsiapa sesat maka kesesatan itu hanya atas dirinya. Dan tiada pemikul beban akan memikul beban orang lain. Dan Kami tidak tidak akan mengazab sebelum Kami mengirimkan seorang rasul. Dan apabila Kami hendak membinasakan suatu kota, Kami memerintahkan kepada warganya yang hidup mewah untuk berbuat baik, tetapi mereka durhaka di dalamnya, maka sempurnalah atasnya keputusan Kami lalu Kami menghancurkannya. Dan berapa banyaknya keturunan (generasi) yang telah Kami binasa­kan sesudah Nuh! Dan cukuplah Tuhan engkau Maha Mengetahui, Maha Melihat dosa-dosa hamba­-hamba-Nya. (Bani Israil [17]:16-18).
Azab bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan terbit dan timbul dari dalam diri manusia sendiri. Pada hakikatnya siksaan-siksaan neraka dan ganjaran-ganjaran surga akan hanya merupakan sekian banyak perwujudan dan penjelmaan perbuatan manusia -- baik atau buruk -- yang pernah dilakukannya dalam kehidupan ini. Jadi, dalam kehidupan ini manusia menjadi perancang nasibnya sendiri, dan seolah-olah pada kehidupan di akhirat ia sendiri akan menjadi pengganjar dan penghukum terhadap dirinya sendiri.
Tiap orang harus memikul tanggung-jawab perbuatannya sendiri. Pengurbanan dan penebusan dari siapa pun, tidak dapat mendatangkan faedah spa pun kepada orang lain. Ayat ini mematahkan kepercayaan tentang ajaran penebusan dosa sampai ke akar-akarnya.
Dalam generasi kita sendiri dunia telah menyaksikan wabah-wabah, kelaparan-kelaparan, peperangan-peperangan, gempa-gempa bumi, serta malapetaka lainnya, yang serupa itu belum pernah terjadi sebelumnya dan datangnya begitu bertubi-tubi, sehingga kehidupan manusia telah dirasakan karenanya. Sebelum malapetaka-malapetaka dan bencana-bencana menimpa bumi ini sudah selayaknya Allah Ta’ala membangkitkan seorang pemberi peringatan yakni Rasul Allah, sebagaimana firman-Nya: Dan Kami tidak tidak akan mengazab sebelum Kami mengirimkan seorang rasul. (Bani Israil [17]:16)
Kenapa demikian? Sebab jika tidak maka manusia akan mempunyai alasan untuk menyalahkan Allah Ta’ala, bahwa sebelumnya tidak ada seorang pun yang memberi peringatan kepada mereka bahwa azab Allah Ta'ala akan menimpa mereka, firman-Nya:
Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan azab sebelum [kedatangan rasul] ini, niscaya mereka akan berkata, “Wahai Rabb (Tuhan) kami, mengapa tidak Engkau kirimkan kepada kami seorang Rasul, supaya kami mengikuti Tanda-tanda Engkau sebelum kami direndahkan dan dihinakan?” Katakanlah, “Setiap orang sedang menunggu, maka kamu pun tunggulah, dan segera kamu akan mengetahui siapakah yang ada pada jalan yang lurus dan siapa yang mengikuti petunjuk.” (Thaa Haa [20:135-136).

Arti Bani Adam

Ungkapan kalimat “Hai Bani Adam”, hal ini patut mendapat perhatian istimewa. Seperti pada beberapa ayat sebelumnya tentang pakaian dan syaitan (Qs.7:27, 28, 32), seruan dengan kata-kata. “Hai anak-­cucu Adam” ditujukan kepada umat di zaman Nabi Besar Muhammad saw. dan juga kepada generasi-generasi yang akan lahir, bukan kepada umat yang hidup di masa jauh silam dan yang datang tak lama sesudah masa Nabi Adam a.s., firman-Nya:
Wahai Bani Adam, se­sungguhnya Kami telah me­nurunkan kepadamu pakaian penutup auratmu sebagai perhiasan, dan pakaian takwa itulah yang terbaik. Hal demikian itu sebagian dari Tanda-tanda Allah, mudah­-mudahan mereka mendapat nasihat. Wahai Bani Adam, janganlah kamu biarkan syaitan menggoda kamu sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua orang‑tuamu dari jannah (kebun), ia menanggal­kan pakaian kedua mereka itu untuk menampakkan kepada kedua mereka itu aurat mereka. Se­sungguhnya ia dan suku bangsanya melihat kamu dari tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami jadikan syaitan-syaitan itu sahabat-sahabat bagi orang-orang yang tidak ber­iman. Dan, apabila mereka me­ngerjakan suatu kekejian, mereka berkata, "Kami mendapati bapak-­bapak (leluhur) kami demikian dan Allah memerintahkan kami seperti itu pula." Katakanlah, "Sesungguhnya Allah tidak pernah memerintahkan berbuat keji. Apakah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?" (Al-A’raaf [7]:27-29).
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kedatangan petunjuk Allah Ta’ala kepada Bani Adam, tiada lain adalah kedatangan para Rasul Allah yang dibangkitkan (diutus) dari kalangan Bani Adam. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan adanya persamaan ayat selanjutnya dari kedua firman Allah Ta’ala tersebut tentang orang-orang yang mendustakan dan menentang Rasul Allah, firman-Nya::
Maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku maka tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. Tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan Tanda­-tanda Kami, mereka adalah penghuni Api, mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah [2]:40).
Firman-Nya:
Barangsiapa bertakwa dan mem­perbaiki diri, maka tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. Tetapi orang-orang yang mendustakan Tanda-tanda Kami dan dengan takabur berpaling darinya, mereka adalah penghuni Api; mereka kekal di dalamnya (Al-A’raaf [7]:37).

Dua Macam Manusia Syaitan:
(1) Golongan Jin dan (2) Golongan Ins

Setelah itu kemudian Allah Ta’ala memperingatkan Bani Adam terhadap godaan syaitan dan suku-bangsanya, firman-Nya:
Wahai Bani Adam, janganlah kamu biarkan syaitan menggoda kamu sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua orang‑tuamu dari jannah (kebun), ia menanggal­kan pakaian kedua mereka itu untuk menampakkan kepada kedua mereka itu aurat mereka. Se­sungguhnya ia dan suku bangsanya melihat kamu dari tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami jadikan syaitan-syaitan itu sahabat-sahabat bagi orang-orang yang tidak ber­iman. (Al-A’raaf [7]:28).
Menurut Allah Ta’ala, musuh para nabi Allah tersebut -- yakni manusia-manusia syaitan yang mendustakan dan menentang para nabi Allah -- terbagi menjadi dua golongan manusia yaitu (1) golongan jin dan (2) golongan ins, firman-Nya:
Dan, sekalipun jika Kami menurunkan malaikat-malaikat kepada mereka, orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka, dan Kami mengumpulkan di hadapan mereka segala sesuatu berhadap-hadapan, niscaya me­reka tidak akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Akan tetapi kebanyakan mereka tidak ber­pengetahuan. Dan dengan cara demi­kian Kami telah menjadikan syaitan-syaitan di antara ins (manusia) dan jin, musuh bagi setiap nabi. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya kata-kata indah untuk mengelabui. Dan jika Rabb (Tuhan) engkau menghendaki, mereka tidak akan mengerjakannya, maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka ada-adakan. Dan supaya hati orang­-orang yang tidak percaya kepada akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka menyukainya, dan supaya mereka mengusahakan apa­-apa yang sedang mereka usaha­kan. (Al-An’aam [6]:112-114).
Firman-Nya lagi:
Dan Kami tidak pernah mengutus sebelum engkau (Rasulullah) seorang rasul dan tidak pula seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan meletakkan [rintangan] pada keinginan itu, tetapi Allah menghilangkan [rintangan] yang diletakkan oleh syaitan itu, kemudian Allah meneguhkan Tanda-tanda-Nya, dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana (Al-Hajj [22]:53).
Dengan demikian jelaslah, bahwa yang dimaksud dengan rintangan yang diletakkan manusia-manusia syaitan -- di jalan perjuangan suci para rasul Allah dan para nabi Allah adalah “kata-kata indah untuk mengelabui”, sebagaimana dikemukakan iblis dan juga tipu-daya syaitan (Qs.7:21; Qs.20:121) sebelum ini:
Ia (iblis) berkata, “Wahai Rabb-ku (Tuhan-ku) karena Engkau telah memutuskan aku sesat niscaya aku akan menjadikan [kesesatan] ditampakkan indah bagi mereka di bumi, dan niscaya aku kusesatkan mereka itu semua, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis dari mereka.” (Al-Hijr [15]:40-41).
Jadi, pada hakikatnya tekad iblis itulah yang dilaksanakan oleh manusia-manusia syaitan dari golongan jin dan ins, sebagaimana firman-Nya sebelum ini:
Dan dengan cara demi­kian Kami telah menjadikan syaitan-syaitan di antara ins (manusia) dan jin, musuh bagi setiap nabi. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya kata-kata indah untuk mengelabui. Sekiranya Rabb (Tuhan) engkau menghendaki mereka tidak akan mengerjakannya maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka ada-adakan itu. (Al-An’aam [7]:112).
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik:
Dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman, tetapi apabila mereka mereka pergi kepada syaitan-syaitan mereka, berkata mereka, “Sesungguhnya kami beserta kamu, kami hanya berolok-olok.” (Al-Baqarah [2]:15).
Kata “syayaathin” (setan-setan) dalam ayat tersebut maksudnya para pemimpin pendurhaka (pemimpin orang-orang kafir), yakni manusia-manusia syaitan dari golongan jin. Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda: “Seorang pengendara sendirian adalah syaitan, dua pengendara pun sepasang syaitan¸ tetapi tiga orang pengendara adalah satu pasukan pengendara (Hadits Abu Daud). Hadits ini mendukung pandangan bahwa kata syaithan (setan) tidak selamanya berarti syaitan berupa makhluk halus.
Mengisyaratkan kepada manusia-manusia syaitan dari golongan jin -- yang mendustakan dan menentang keras para Rasul Allah -- itu pulalah firman-Nya berikut ini:
Dan apakah orang yang tadinya mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya, yang dengan [cahaya] itu dia berjalan di tengah-tengah manusia, serupa keadaan orang-orang yang berada di dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan, dan demikianlah Kami menjadikan di dalam tiap negeri para pendosanya yang besar, sehingga akibatnya mereka melakukan makar (tipu-daya) dalam negeri itu, dan mereka tidak memperdayakan kecuali dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya. Apabila datang sesuatu Tanda (mukjizat) kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan pernah akan beriman sehingga kami diberi seperti apa yang telah diberikan kepada para rasul Allah". Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan risalat-Nya. Akan ditimpakan kehinaan di sisi Allah dan azab yang keras disebabkan mereka selalu membuat makar (tipu daya). (Al-An’aam [6]:123-126). 

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar