Selasa, 08 September 2009

TANGGAPAN: Perbedaan Kemampuan Kanuragan dan Kebatinan dengan Mukjizat dan Karamah

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

 

KISAH-KISAH MONUMENTAL 

  DALAM AL-QURAN


Perbedaan Kemampuan Kanuragan dan Kebatinan 
dengan
Mukjizat dan Karamah 
 
oleh 
Ki Langlang Buana Kusuma


Dalam bahasa Arab, makna kesaktian identik dengan kemampuan semacam mukjizat dan karamah (keramat) -- yang biasa dinisbahkan kepada para nabi Allah dan para wali Allah -- yaitu suatu peristiwa khusus yang terjadi di luar hukum alam yang berlaku secara umum, yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa hormat pihak lain terhadap orang yang bersangkutan (nabi Allah dan wali Allah), yang terjadinya semata-mata atas izin (perintah) Allah Ta’ala, bukan sekehendak hati para nabi Allah mau pun para wali Allah, yang sering dikaitkan dengan kalimat ”Kun fayakun” (Jadilah, maka terjadilah - Qs.2:118; Qs.3:60; Qs.16:41; Qs.19:36; Qs.36:83) -- sebagaimana yang umumnya dipahami secara keliru.
Itulah sebabnya terhadap tuntutan pihak penentang agar Nabi Besar Muhammad saw. memperlihatkan mukjizat sebagaimana yang mereka inginkan (Qs.17:91-94) maka beliau saw. diperintahkan Allah Ta’ala untuk menjawab:
Katakanlah, "Maha Suci Rabb-Ku (Tuhan-ku), aku tidak lain melainkan seorang manusia [yang diutus sebagai] seorang rasul” (Bani Israil [17]:94).
Tuntutan akan mukjizat tersebut selengkapnya adalah:
Dan mereka berkata: "Kami tidak akan pernah beriman kepada engkau hingga engkau pancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau engkau mempunyai kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau engkau jatuhkan kepingan-kepingan langit atas kami, sebagaimana engkau katakan, atau engkau datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami, atau engkau mempunyai sebuah rumah dari emas, atau engkau naik ke langit -- tetapi kami tidak akan pernah mempercayai kenaikan engkau itu -- hingga engkau turunkan kepada kami sebuah kitab yang kami dapat membacanya.” Katakanlah: "Maha suci Rabb-ku (Tuhanku), aku tidak lain melainkan hanyalah seorang manusia sebagai seorang rasul" (Bani Israil [17]:91-94).
Demikian pula para nabi Allah pun sama sekali tidak mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali apabila Allah Ta’ala Sendiri memberitahukan hal-hal gaib tersebut kepada mereka, firman-Nya:
Mereka menanyakan kepada engkau tentang kiamat: "Bilakah itu akan terjadi?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang [kiamat] itu adalah pada sisi Rabb-ku (Tuhanku), tidak ada yang dapat menampakkannya pada waktunya kecuali Dia. Sangat berat [ kiamat itu] di seluruh langit dan di bumi. [Kiamat] itu tidak akan datang kepada kamu kecuali dengan tiba-tiba". Mereka bertanya kepada engkau seakan-akan engkau benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan mengenai [kiamat] itu hanya ada pada sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". Katakanlah: "Aku tidak berkuasa meraih kemanfaatan bagi diriku dan tidak [pula menolak] kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku telah meraih banyak kebaikan dan keburukan tidak akan menjamahku (menimpaku). Aku tidak lain melainkan pemberi peringatan dan pemberi kabar gembira kepada kaum yang beriman. (Al-A’raf [7]:188-189). Lihat pula Qs.6:51; Qs.10:50; Qs.11:32.
Firman-Nya lagi:
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu berada di dalamnya, sehingga Dia memisahkan yang buruk dari yang baik. Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya, karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu pahala yang besar. (Aali ‘Imraan [3]:180).
Selanjutnya Dia berfirman:
[Dia-lah Tuhan] Yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga [yakni para malaikat] di depan dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Rabb-Nya (Tuhannya), sedang ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (Al-Jin [72]:27-29).
Firman-Nya lagi kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
Katakanlah, “Sekiranya padaku ada kekuasaan mengenai apa (azab) yang ingin kamu segerakan itu niscaya telah diputuskan perkara di antara aku dengan kamu, dan Allah lebih mengetahui tentang orang-orang zalim.” (Al-An’aam [6]:59). Lihat pula Qs.6:51; Qs.7:189; Qs.10:50; Qs.41:46; Qs.42:15, 22.

Para Nabi Allah Bukan Manusia-manusia Adikuasa
(Sakti Mandraguna)

Oleh karena itu anggapan umumnya manusia -- bahkan umat beragama -- bahwa para nabi Allah atau pun para wali Allah merupakan manusia-manusia adikuasa (sakti mandraguna) sama sekali tidak benar, sebab kecuali sebagai hamba-hamba suci Allah Ta’ala yang mendapat kemuliaaan sebagai nabi Allah atau wali Allah, pada hakikatnya mereka itu adalah manusia-manusia biasa yang harus tunduk kepada berbagai hukum-hukum yang ditetapkan Allah Ta’ala bagi semua manusia, kecuali dalam keadaan-keadaaan tertentu, atas izin Allah Ta’ala mereka mengalami hal-hal khusus yang disebut mukjizat atau karamah, sebagai bukti bahwa Allah Ta’ala benar-benar bersama mereka.
Mengisyaratkan kepada kenyataan itulah para penentang nabi Allah senantiasa berkata, firman-Nya:
Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?” (Al-Furqaan [25]:8).
Allah Ta'ala menjawab celaan mereka, firman-Nya:
Dan Kami tidak pernah mengutus Rasul-rasul sebelum engkau (Rasulullah) melainkan sesungguhnya mereka benar-benar memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian dari kamu sebagai cobaan bagi sebahagian yang lain [untuk melihat] apakah kamu bersabar, dan Rabb (Tuhan) engkau Maha Melihat. Dan berkata orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, “Mengapakah tidak diturunkan kepada kami malaikat-malaikat? Atau mengapakah kami tidak melihat Rabb (Tuhan) kami?” Sesungguhnya mereka terlalu sombong mengenai diri mereka dan mereka telah terlampau jauh dalam kedurhakaan. (Al-Furqaan [25]:21-22).
Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman mengenai alasan kenapa para Rasul Allah itu berasal dari kalangan manusia juga seperti mereka, bukan dari kalangan para malaikat:
Katakanlah: "Seandainya di bumi ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan dengan aman tentram, niscaya Kami turunkan kepada mereka dari langit malaikat [sebagai] Rasul". (Bani Israil [17]:96). Lihat pula Qs.23:25-26; Qs.43:61.
Seandainya benar bahwa para nabi Allah dan para wali Allah merupakan manusia-manusia adikuasa (sakti mandraguna) dan mampu mengabulkan tuntutan hawa nafsu manusia -- terutama sekali tuntutan para penentangnya -- pasti tidak akan ada seorang manusia pun yang akan menjadi orang-orang yang mendustakan dan menentang para nabi Allah atau para wali Allah, sebab mereka pasti akan menjadi orang-orang yang patuh-taat kepada wujud-wujud suci tersebut, dan bahkan mereka akan benar-benar menyembah wujud-wujud suci tersebut.
Jika itu yang terjadi, maka bukan saja tidak diperlukan lagi rangkaian kedatangan para nabi Allah (Qs.7:35-37) maupun para wali Allah, bahkan Allah Ta’ala pun tidak perlu lagi menurunkan ajaran-ajaran agama (kitab-kitab suci) kepada umat manusia -- termasuk agama Islam dan kitab suci Al-Quran (Qs.5:4) -- sebab semua umat manusia keadaannya telah patuh-taat seperti keadaan para malaikat yang tidak memiliki lagi kehendak apa pun selain hanya melaksanakan kehendak dan ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi mereka (Qs.66:7).
Pendek kata, para nabi Allah maupun para wali Allah bukanlah orang-orang yang "sakti mandraguna" sebagaimana umumnya dipercayai secara keliru, sebab berbagai mukjizat mau pun karamah yang dengan izin dapat mereka perlihatkan adalah sama sekali bukan merupakan suatu kesaktian atau suatu kemampuan luar biasa yang dapat dilakukan kapan saja sebagaimana yang dikehendaki oleh orang-orang suci tersebut, firman-Nya:
Katakanlah (Rasulullah), "Sekiranya ada padaku kekuasaan mengenai apa (azab) yang ingin kamu segerakan itu niscaya telah diputuskan perkara di antara aku dengan kamu, dan Allah lebih mengetahui tentang orang-orang zalim. Dan pada sisi-Nya kunci-kunci segala yang gaib, tiada yang mengetahuinya kecuali Dia. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidaklah gugur sehelai daun pun melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering melainkan [tertulis] dalam Kitab yang terang. (Al-An'aam [6]:59-60).
Ayat ini dan ayat berikutnya meletakkan asas penyuluh bahwa keputusan untuk menurunkan azab atas orang-orang kafir tidak diserahkan ke tangan Nabi Besar Muhammad saw. -- sebagaimana dituntut oleh mereka -- jika demikian halnya sudah lama mereka akan menemui ajal mereka, lalu barangkali banyak dari orang-orang yang dahulunya merupakan musuh Islam -- seperti Umar bin Khaththab r.a. dan Khalid bin Walid r.a. yang kemudian ditakdirkan memainkan peranan penting dalam melebarkan sayap serta menegakkan kekuasaan Islam -- niscaya akan meninggal dunia dalam keadaan kafir.
Akan tetapi, oleh karena Allah Ta’ala itu Maha Kuasa, Dia lambat sekali menghukum dan karena mengetahui sepenuhnya tentang gerak-gerik batin manusia maka Dia mengetahui bila dan siapa yang harus dihukum. Dia Sendiri mengetahui betapa jauh kesukaran­-kesukaran atau kesenangan-kesenangan dapat mempengaruhi perbuatan­-perbuatan manusia, dan apakah mungkin atau tidak pekerjaan-pekerjaan baik yang dilakukan manusia jadi hapus atau sia-sia oleh bekerjanya sebab-sebab lain.
Dia Sendiri mengetahui benih-benih kebaikan yang tertanam di dalam hati manusia dan mengetahui apakah mungkin atau tidak bahwa benih-­benih itu akan bersemi lalu tumbuh dan berkembang subur lalu menghasilkan buah. Hanya Dia Sendiri Yang dapat mengatakan apakah seseorang yang nampaknya "kering" dan "kosong dari segala kehidupan ruhani akan menjadi "hijau" bila diberi siraman air ataukah ia "mati" dan tak bisa dihidupkan lagi.
Pendek kata, hanya Allah Ta’ala Yang mempunyai pengetahuan sepenuhnya tentang segala hal, segala keadaan, segala kemungkinan dan segala kemampuan yang tersembunyi, dan karena itu hanya Dia Sendiri pula Yang dapat mengatakan siapa harus dihukum dan siapa tidak.
Yatawaffakum bil lail berarti mengambil ruh di waktu malam. Hanya Allah Ta’ala Sendiri Yang mengetahui keadaan manusia di waktu malam dan perbuatan-perbuatannya di waktu siang, dan semua waktu ada di bawah pengawasan-Nya. Oleh karena itu hanya Dia Sendiri juga yang mengetahui tabiat sebenarnya orang yang shalih dan yang jahat, maka sebagai akibatnya, hanya Dia Sendiri pula Yang berwenang menghukum.
"Jangka waktu" (ajal) yang dikatakan dalam ayat 61 ditetapkan oleh kemampuan-­kemampuan dan kekuatan-kekuatan yang dianugerahkan kepada manusia semenjak ia dilahirkan dan dapat diperpanjang atau diperpendek menurut benar atau salahnya ia menggunakan kemampuan-kemampuan dan kekuatan­-kekuatan itu. Di sini tidak disebutkan mengenai kearifan Allah Ta’ala yang kekal-abadi.
Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman mengenai kewenangan-Nya untuk memberi hukuman maupun ampunan kepada manusia:
Dan Dia Maha Unggul di atas hamba-hamba-Nya dan Dia mengutus penjaga-penjaga bagimu hingga apabila maut (kematian) mendatangi salah seorang di antaramu, utusan-utusan Kami mewafatkannya dan mereka tidak melalaikannya, kemudian mereka dikem­balikan kepada Allah, Pelindung mereka yang haq. Ketahuilah, segala keputusan milik-Nya. Dan Dia Penghisab Yang secepat­-cepatnya. (Al-An’aam [6]:62-63).
Ayat ini memberikan alasan lainnya mengapa Allah Ta’ala Sendiri Yang berhak menghukum. Dia Qaahir yakni Maha Gagah-perkasa dan Berkuasa atas segala sesuatu; oleh karena itu Dia dapat menghukum makhluk-makhluk-Nya sesuai dengan pengetahuan-Nya yang tak kenal salah itu manakala Dia menganggap tepat. Wujud-wujud yang gagah-perkasa tidak pernah terburu-­buru menghukum.

Tujuan Utama Diciptakan-Nya Manusia &

Makna Ibadah

Perlu diketahui, bahwa tujuan utama Allah Ta’ala menciptakan manusia dengan berbagai kemampuan jasmaniah dan ruhaniah yang telah dianugerahkan kepadanya (Qs.23:12-25; Qs.82:7-9; Qs.87:3; Qs.91:8; Qs.95:5) berbeda dengan tugas para malaikat, yakni manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah Ta'ala, firman-Nya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan ins (manusia) melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (Adz-Dzaariyaat [51]:57).
Arti yang utama kata ibadah ialah menundukkan diri sendiri kepada disiplin keruhanian yang ketat, lalu bekerja dengan segala kemampuan dan kekuatan yang ada sampai sejauh jangkauannnya, sepenuhnya serasi dengan serta taat kepada perintah-perintah Ilahi, agar menerima meterai pengesahan Allah Ta’ala dan mampu menyerap serta memperagakan (menjelmakan) dalam dirinya sendiri Sifat-sifat Tasybihiyyah Allah Ta’ala, sebagaimana yang telah diperagakan oleh para nabi Allah, khususnya oleh Nabi Besar Muhammad saw. (Qs.3:32-33; Qs.33:22), sebagaimana sabda beliau saw, “Takhallaqu biakhlaqillaah” (berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah).
Jadi, sebagaimana dikemukakan ayat ini, itulah makna ibadah kepada Allah Ta’ala. Karunia-karunia lahir dan batin yang terdapat pada sifat manusia (Qs.95:5) memberikan dengan jelas pengertian, bahwa di antara kemampuan manusia ada yang membangunkan pada dirinya dorongan untuk mencari Allah Ta’ala dan yang meresapkan kepadanya keinginan mulia untuk berserah diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala (Qs.2:131-135; Qs.3:103; Qs.22:79), firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad saw.:
Katakanlah, “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Rabb-ku (Tuhan-ku) kepada jalan lurus, agama yang teguh, agama Ibrahim yang benar dan dia bukanlah dari orang-orang musyrik.” Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku dan kematianku hanyalah untuk Allah, Rabb (Tuhan) seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintahkan dan akulah orang pertama yang berserah diri.” (Al-An’aam [6]:162-164).
Kemampuan manusia untuk menyerap dan memperagakan Sifat-sifat sempurna Allah Ta’ala itulah yang tidak dimiliki oleh para malaikat, itulah sebabnya ketika para malaikat mengajukan “pendapatnya” atas rencana Allah Ta’ala ketika akan menciptakan seorang Khalifah-Nya di muka bumi, para malaikat menyatakan ketidak-mampuannya untuk menyebutkan al-Asmaa (nama-nama) yang telah diajarkan Allah Ta’ala kepada Adam (Qs.2:31-34), sehingga ketika Allah Ta’ala memerintahkan kepada para malaikat untuk “bersujud” kepada Adam maka mereka dengan patuh melaksanakan perintah Allah Ta’ala tersebut -- kecuali iblis -- karena terbukti Adam (Khalifah Allah) mampu memberitahukan al-Asmaa (nama-nama) yang telah diajarkan Allah Ta'ala kepadanya (Qs.2:35; Qs.7:12-13; Qs.15:29, 33; Qs.17:62; Qs.18:51; Qs.20:117; Qs.38:72-77), masalah ini akan dibahas secara terinci pada bagian lain dari tulisan ini tentang Kisah Monumental Adam - Malaikat - Iblis.
Berikut adalah firman Allah Ta’ala tentang kemampuan manusia untuk “bertemu” dengan Allah Ta’ala di dalam kehidupannya di dunia ini, yang tidak dimiliki oleh malaikat untuk melakukannya, firman-Nya:
Hai insan (manusia), sesungguhnya engkau bekerja keras dengan sungguh-sungguh menuju Rabb (Tuhan) engkau maka engkau akan bertemu dengan-Nya (Al-Insyiqaq [84]:7).
Firman-Nya lagi:
Hai jiwa yang tentram! Kembalilah kepada Rabb (Tuhan) engkau, engkau ridha [kepada-Nya dan] Dia pun ridha [kepada engkau], maka masuklah dalam [golongan] hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku (Al-Fajr [89]:28-31).
Ketika seorang hamba Allah telah benar-benar menyerap secara sempurna Sifat-sifat Allah Ta’ala -- dalam hal ini para nabi Allah dan para wali Allah -- maka dengan karunia-Nya wujud-wujud suci tersebut sampai batas tertentu akan mampu memperagakan kekuasaaan Allah Ta’ala, yang disebut mukjizat atau karamah, yaitu bagaikan besi atau logam yang dibakar dalam kobaran api maka besi atau logam tersebut akan memiliki kemampuan membakar seperti api, sebagaimana firman-Nya berkenaan kemenangan telak umat Islam dalam perang Badar:
Maka bukanlah kamu yang membunuh mereka melainkan Allah yang telah membunuh mereka, dan bukan engkau (Rasulullah) yang melemparkan [pasir] ketika engkau melempar melainkan Allah yang telah melempar, dan supaya Dia mengenugerahi orang-orang mukmin anugerah yang baik dari-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui (Al-Anfaal [8]:18).
Kemenangan dalam perang Badar itu sebenarnya bukan disebabkan oleh suatu kecakapan atau kemahiran pihak orang-orang Islam. Mereka terlalu sedikit, terlalu lemah, dan terlalu buruk persenjataan mereka untuk memperoleh kemenangan terhadap satu lasykar yang jauh lebih besar jumlahnya, jauh lebih baik persenjataannya, lagi pula jauh lebih terlatih.
Perlemparan segenggam kerikil dan pasir oleh Nabi Besar Muhammad saw. mempunyai kesamaan yang ajaib dengan pemukulan air laut dengan tongkat oleh Nabi Musa a.s.. Sebagaimana dalam kejadian yang terakhir, perbuatan Nabi Musa a.s. yang diperintahkan dengan perantaraan wahyu Ilahi itu seolah-olah merupakan isyarat bagi angin untuk bertiup dan bagi air-pasang naik kembali. sehingga membawa akibat tenggelamnya Firaun serta lasykarnya di laut. Demikian pula halnya pelemparan segenggam kerikil oleh Nabi Besar Muhammad saw. merupakan satu isyarat untuk angin bertiup kencang dengan membawa akibat kebinasaan Abu Jahal -- yang pernah disebut oleh Rasulullah saw.. sebagai Firaun kaumnya -- dan lasykarnya di padang pasir itu. Dalam kedua kejadian tersebut bekerjanya kekuatan-kekuatan alam itu, bertepatan benar dengan tindakan-tindakan kedua nabi itu di bawah takdir khas Allah Ta’ala.

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid





Tidak ada komentar:

Posting Komentar