Jumat, 18 September 2009

Hakikat Sebutan "Jannah" kepada Tempat Tinggal Adam a.s. dan Istrinya

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

   

KISAH-KISAH MONUMENTAL 

  DALAM AL-QURAN

   Hakikat Sebutan "Jannah" Kepada 
tempat Tinggal Adam a.s. dan Istrinya
  
oleh 

Ki Langlang Buana Kusuma

 Setelah Adam memperoleh “pembentukan” secara sempurna oleh Allah Ta’ala dan terbukti beliau mampu menyebutkan yakni memperagakan Asmaa (Sifat-sifat sempurna) Allah Ta’ala selanjutnya Allah Ta’ala memerintahkan Adam dan “istrinya” atau “jama’ahnya” (Qs.66:11) untuk bertempat tinggal di dalam “jannah” (kebun) -- yang umumnya artikan surga, yang ke dalamnya para ahli surga akan masuk di alam akhirat nanti -- firman-Nya:
Dan Kami berfirman, "Hai Adam, tinggallah engkau dan isteri engkau dalam jannah ini, dan makanlah darinya sepuas hati di mana pun kamu berdua suka, tetapi janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, jangan-jangan kamu berdua termasuk orang-orang zalim (Al-Baqarah [2]:36).
Firman-Nya lagi:
Dan hai Adam, tinggal­lah engkau dan istri engkau di dalam jannah ini, maka makanlah dan minumlah dari mana saja kamu berdua sukai, tetapi janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, jangan-jangan kamu berdua termasuk orang-orang zalim." (Al-A’raaf [7]:20).
Kata jannah (kebun, taman) yang tercantum pada ayat ini, tidak memberi isyarat kepada surga -- yang ke dalamnya para ahli surga akan masuk setelah mengalami kematian -- melainkan mengisyaratkan kepada tempat yang sangat subur seperti kebun di permukaan bumi ini, yang untuk pertama kali Adam a.s. dan istrinya disuruh tinggal, yakni suatu tempat yang sangat subur di Mesopotamia (Iraq), sehingga disebut "jannah" yang artinya adalah "kebun".
Jadi, kata jannah itu tidak dapat ditujukan kepada surga, karena: (1) di bumi inilah Adam a.s. disuruh tinggal (Qs.2:37); (2) surga adalah tempat para ahli surga di alam akhirat yang bila seseorang sudah memasukinya tidak pernah dikeluarkan lagi (Qs.15:49), sedangkan Adam a.s. setelah terpedaya oleh tipu-daya syaitan harus meninggalkan jannah (kebun) itu, seperti dituturkan dalam ayat ini. (3) surga adalah “tempat tinggal” terakhir para ahli surga di alam akhirat sebagai hasil dari “beriman dan beramal shalih” dalam kehidupannya di dunia (Qs.2:26), oleh karena itu mustahil iblis atau syaitan berada di dalamnya bersama para ahli surga tersebut, sebab jika demikian maka para penghuni surga jalan menjalani kehidupannya di dalam surga tidak akan merasa tentram karena mereka harus tetap waspada terhadap tipu-daya Iblis dan syaitan sebagaimana ketika masih hidup di dunia ini.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa jannah atau kebun tempat untuk pertama kalinya Adam a.s. tinggal tidak lain adalah tempat di bumi ini juga, yang telah diberi nama jannah (kebun) karena kesuburan tanahnya dan penuh dengan tumbuh-tumbuhan (pepohonan). Penyelidikan akhir-akhir ini telah membuktikan bahwa jannah atau kebun itu adalah Taman Eden yang terletak dekat Babilonia atau Assyiria (Encyclopaedia Britanica, pada kata “Ur”).
Ungkapan "makanlah darinya sepuas hati di mana pun kamu berdua suka" menunjukkan bahwa tempat Adam a.s. dan istrinya tinggal, belum berada di bawah ke­kuasaan hukum seseorang, dan merupakan apa yang dapat disebut "tanah Tuhan" yang diberikan kepada Adam a.s. dan oleh karena itu seolah-olah dijadikan pemilik semua tanah yang dijelajahi beliau.
Kata jannah (kebun), junnatu (segala sesuatu yang dapat melindungi dari ancaman senjata, perisai), janiini (janin), jananu (kubur), janaanu (ruh/jiwa/hati), jinnatun (gila) dll, memiliki makna yang sama dengan kata jin, berasal dari kata janna, yang mengandung arti: menutupi, menyembunyikan atau melindungi dari sesuatu.
Suatu tempat layak disebut jannah (kebun), apabila tempat tersebut memiliki kemampuan menutupi, menyembunyikan atau melindungi orang-orang yang berada di dalamnya dari sesuatu yang membahayakan -- termasuk bahaya kelaparan, kehausan, dan ketelanjangan -- karena memiliki banyak pohon besar yang berdaun rimbun dan pepohonannya lebat dengan berbagai macam buah-buahan, sehingga:
1. kebun tersebut dapat menyembunyikan dan melindungi penghuninya dari berbagai bentuk bahaya yang datang dari luar kebun dan juga melindungi mereka dari sengatan terik matahari.
2. kebun tersebut dapat menjamin keperluan makanan bagi penghuninya dengan berbagai macam buah-buahan, sehingga penghuninya tidak akan kelaparan.
3. kebun seperti itu akan terdapat banyak sumber mata air, sehingga penghuninya tidak akan kehausan.
Itulah pula sebabnya Allah Ta’ala pun di dalam Al-Quran telah menyebut surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di alam akhirat pun dengan sebutan jannah (kebun) pula, firman-Nya:
Dan berilah kabar suka kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, sesungguhnya untuk mereka ada kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, mereka berkata, “Inilah rezeki yang telah diberikan kepada kami dahulu”, dan akan diberikan kepada mereka yang serupa. Dan bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh yang suci, dan mereka akan kekal di dalamnya. (Al-Baqarah [2]:26). lihat pula Qs.3:134, 196, 199; Qs.4:14, 58, 123; Qs.5:13, 86; Qs.7:44; Qs.9:72, 89, 100; Qs.10:10; Qs.13:36; Qs.22:14, 24; Qs.25:11;; Qs.32:18; Qs.47:16; Qs.58:23; Qs.61:13; Qs.64:10).
Mengenai surga yang hakiki tersebut dengan tegas Allah Ta’ala berfirman “mereka akan kekal di dalamnya”, sedangkan mengenai “jannah” tempat tinggal Adam a.s. dan istrinya (jama’ahnya) , mereka telah diperingatkan Allah Ta'ala terhadap upaya-upaya iblis yang bertekad untuk mengeluarkan mereka dari jannah (kebun) tersebut, firman-Nya:
Dan [ingatlah] ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam” maka mereka sujud kecuali iblis, ia enggan (menolak). Kemudian Kami berfirman, "Hai Adam, sesungguhnya ini adalah musuh bagi engkau dan bagi istri engkau, maka janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari jannah maka kamu menderita kesusahan. Sesungguhnya engkau di dalamnya tidak akan kelaparan, engkau tidak akan akan telanjang, engkau di dalamnya tidak akan kehausan dan engkau tidak akan disengat panas matahari." (Thaa Haa [20]:115-120).
Nabi Adam a.s. diperingatkan, bahwa jika beliau menyerah kepada bujukan syaitan dan menerima nasihatnya yang dusta, beliau akan menjadi luput dari jannah (kebun) yaitu, kehidupan berbahagia dan ketenteraman ruhani yang sebelumnya telah beliau nikmati.
Isyarat dalam ayat-ayat nampaknya ditujukan kepada kemudahan dan kesenangan yang tidak terpisahkan dari kehidupan beradab. Dua ayat ini mengisyaratkan kepada kenyataan, bahwa penyediaan pangan, sandang, dan perumahan bagi rakyat -- sarana-sarana keperluan hidup yang pokok -- merupakan tugas utama bagi suatu pemerintah beradab, dan bahwa suatu masyarakat, baru dapat dikatakan masyarakat beradab bila semua warga masyarakat itu dicukupi keperluan-keperluan tersebut di atas.
Umat manusia akan terus menderita dari pergolakan-pergolakan sosial, dan warna akhlak masyarakat umat manusia tidak akan mengalami perbaikan hakiki, selama kepincangan yang parah di bidang ekonomi -- yaitu sebagian lapisan masyarakat berkecimpung dalam kekayaan, sedang sebagian lainnya mati kelaparan -- tidak dihilangkan.
Adam a.s. diberitahukan di sini, bahwa beliau akan tinggal di sebuah tempat, di mana kesenangan dan keperluan hidup akan tersedia dengan secukupnya bagi semua penduduknya. Keadaan ini telah dijelaskan di tempat lain dalam Al-Quran dengan kata-kata, “Dan makanlah darinya sepuas hati di mana pun kamu berdua suka” (Qs.2:36).
Ayat yang sedang dibahas ini menunjukkan pula, bahwa semenjak Nabi Adam a.s. mulailah suatu tata-tertib baru dalam kemasyarakatan, dan bahwa beliau meletakkan dasar pemerintahan, yang meratakan jalan bagi masa kemajuan manusia dalam bidang kemasyarakatan.

Hakikat “Pohon Terlarang” Dalam “Jannah”

Selanjutnya Allah Ta’ala memperingatkan Adam a.s. dan istrinya terhadap “pohon” yang ada di dalam “jannah” (kebun), firman-Nya:
Dan Kami berfirman, “Hai Adam, bertempat tinggallah engkau dan istri engkau dalam jannah (kebun) ini dan makanlah sepuas hati di mana pun kamu berdua suka, tetapi janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, jangan-jangan kamu berdua termasuk orang-orang zalim.” (Al-Baqarah [2]:36)
Menurut Bible, syajarah (pohon) yang terlarang itu adalah pohon ilmu pengetahuan baik dan buruk (Kejadian 2:17). Tetap menurut Al-Quran, sesudah memakan buah pohon terlarang itu, Adam dan istrinya menjadi telanjang. Hal itu berarti bahwa tidak seperti halnya ilmu yang menjadi sumber kebaikan, pohon itu sumber kejahatan, yang menjadikan Adam a.s. menampakkan sesuatu kelemahan.
Pandangan Al-Quran itu ternyata tepat, sebab meluputkan atau memiskinkan orang dari ilmu pengetahuan berarti menggagalkan tujuan yang untuk itu ia dijadikan. Tetapi, Al-Quran dan Bible agak sepakat juga mengenai hal bahwa pohon itu bukan benar-benar sebatang pohon biasa, melainkan hanya suatu perlambang (kiasan), sebab pernah di permukaan bumi ini tidak pernah ada pohon yang memiliki salah satu ciri-ciri khas di atas, yaitu dapat menjadikan orang telanjang atau memberikan ilmu baik dan buruk. Jadi, pohon itu harus mengisyaratkan sesuatu yang lain.
Syajarah berarti pula perselisihan. Di tempat lain Alquran menyebut dua macam syajarah: (1) Syajarah thayyibah (pohon baik) dan (2) Syajarah khabitsah (pohon jahat), lihat Qs.14:25 dan 27. Hal­-hal yang suci dan ajaran-ajaran yang suci diserupakan dengan syajarah thayyibah, sedangkan hal-hal yang tidak suci dan pikiran yang kotor diserupakan dengan yang syajarah khabitsah.
Mengingat keterangan-keterangan itu, maka makna ungkapan “tetapi janganlah kamu berdua mendekati pohon ini” dalam ayat ini dapat berarti, (1) bahwa Adam a.s. diperintahkan untuk menghindari pertikaian (perselisihan - Qs.8:47); (2) bahwa beliau diperingatkan terhadap hal-hal yang jahat. Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman:
Akan tetapi syaitan telah menggelincirkan keduanya dari tempat itu dan ia mengeluarkan keduanya dari keadaan mereka semula. Dan Kami berfirman, "Pergilah kamu dari sini, sebagian dari kamu adalah musuh bagi yang lain, dan bagimu di bumi ini ada tempat kediaman dan bekal hidup sampai suatu masa tertentu.” Kemudian Adam menerima kalimat-kalimat doa dari Rabb-nya (Tuhan­nya) lalu Dia menerima taubatnya. Sesungguhnya, Dia Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. (Al-Baqarah [2]:37) .
Kalimat pertama dalam ayat ini berarti, bahwa suatu wujud manusia yang bersifat syaitan (Qs.8:49) membujuk (memperdaya) Adam a.s. dan istrinya untuk keluar dari tempat mereka itu ditempatkan (jannah), dan dengan demikian menjauhkan mereka dari kesenangan yang dinikmati mereka sebelumnya.
Seperti diterangkan dalam Qs.2:35 sebelum ini, makhluk yang menipu dan menjerumuskan Adam .s. ke dalam kesusahan itu ialah syaitan dan bukan iblis yang dituturkan menolak sujud (mengkhidmati) Adam a.s. Jadi, syaitan di sini tidak menunjuk kepada iblis melainkan kepada seseorang lain dari kaum di zaman Adam a.s. yang adalah musuhnya. Kesimpulan ini selanjutnya didukung oleh Qs.17:66 yang menurut ayat itu iblis tidak mempunyai daya (kekuasaan) apa-apa terhadap Adam a.s..
Kata syaitan mempunyai arti lebih luas daripada iblis, sebab iblis itu nama yang diberikan kepada ruh jahat yang termasuk golongan jin (Qs.18:51) dan yang menolak sujud (mengkhidmati) Adam a.s. dan yang kemudian menjadi pemimpin dan wakil kekuatan-kekuatan jahat di alam semesta. Sedangkan syaitan itu adalah tiap-tiap wujud atau sesuatu yang jahat dan berbahaya -- baik berupa ruh atau manusia atau binatang atau penyakit ataupun tiap sesuatu yang lain.
Jadi, iblis itu termasuk syaitan, kawan-kawannya dan sekutu-sekutunya pun syaitan pula, musuh-musuh kebenaran pun syaitan, orang-orang jahat juga syaitan, binatang­-binatang yang memudaratkan dan penyakit-penyakit berbahaya pun syaitan pula. Al-Quran, hadits, dan pustaka Arab penuh dengan contoh-contoh bahwa kata syaitan dengan bebasnya dipergunakan mengenai sesuatu atau segala sesuatu
Al-Quran sekali-kali tidak mendukung ide bahwa seseorang dapat naik ke langit hidup-hidup; sebab ayat ini tegas menetapkan bumi sebagai tempat tinggal manusia seumur hidupnya, dan menolak ide bahwa Yesus atau demikian pula siapa pun pernah naik ke langit dalam keadaan hidup.
Surga itu tempat yang bila seseorang sudah memasukinya tidak pernah dikeluarkan lagi (Qs.15:49), sedangkan Adam a.s. diharuskan meninggalkan jannah (kebun) itu, seperti dituturkan dalam ayat ini. Hal itu menunjukkan bahwa jannah atau kebun tempat untuk pertama kalinya Adam a.s. tinggal itu, tak lain hanya tempat di bumi ini juga, yang telah diberi nama jannah karena kesuburan tanahnya dan penuh dengan tumbuh-tumbuhan dan pepohonan yang berdaun rindang. Penyelidikan akhir-akhir ini telah membuktikan bahwa tempat itu Taman Eden yang terletak dekat Babil di Irak atau Assyria (Encyclopaedia Britanica, pada "Ur").

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar