Senin, 28 September 2009

Kekeliruan Pertimbangan Adam a.s. Dalam Menanggapai Tipu-daya Syaitan

 

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ

   

KISAH-KISAH MONUMENTAL 

  DALAM AL-QURAN

  Kekeliruan Adam a.s. Dalam Menanggapi 
Tipu-Daya Syaitan    
  
oleh 

Ki Langlang Buana Kusuma

Sebagai akibat penolakan Nabi Adam a.s. terhadap ajakan-ajakan -- yakni nasihat-nasihat dusta -- syaitan, terjadilah perpecahan di antara kaum beliau, sehingga menyebabkan beliau sangat sedih dan cemas hati. Adam a.s. dan istrinya yakni Jemaatnya menyadari, bahwa dengan mengikuti ajakan nasihat dusta syaitan itu -- akibat kekeliruan menafsirkan berbagai pandangan yang dikemukakan oleh syaitan yang mengandung tipu-daya -- maka mereka telah membuat kesalahan besar, dan telah menjerumuskan diri mereka ke dalam keadaan yang amat sulit. Ayat ini tidak berarti bahwa kelemahan mereka telah dimaklumi orang lain, tetapi yang dimaksudkan hanyalah, bahwa Nabi Adam a.s. dan istrinya menjadi sadar akan berbagai kelemahan mereka itu, yang sebelumnya tidak mereka ketahui (tersembunyi dari mereka) tersebut.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa karena waraq (auraq) berarti pula tunas-tunas muda suatu jemaat (Lexicon Lane), maka ayat ini bermaksud mengemukakan, bahwa oleh karena syaitan telah berhasil mendatangkan perpecahan di tengah-tengah jemaat Adam a.s., dan beberapa anggota yang lemah wataknya, telah keluar dari lingkungannya, maka Adam a.s. menghimpun para pemuda dan anggota-anggota jemaat beliau lainnya yang baik dan shalih, dan dengan bantuan mereka, beliau menertibkan lagi kaumnya.
Ayat ini menunjukkan, bahwa perbuatan melanggar perintah dari pihak Adam a.s. itu tidak disengaja dan telah terjadi secara kebetulan -- yakni hanya sekedar melakukan kekeliruan dalam mengambil keputusan, bukan sengaja melanggar perintah Allah Ta’ala -- sebab pelanggaran yang disengaja tidak mungkin mengakibatkan beliau, malah memperoleh kehormatan besar dengan dipilih Allah Ta’ala untuk menerima karunia­-Nya yang istimewa, firman-Nya:
Maka Mahatinggi Allah, Raja Yang Benar. Dan janganlah engkau [Muhammad] tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum pewahyuannya dilengkapkan kepada engkau, melainkan katakanlah, "Ya, Rabb-ku (Tuhan-­ku), tambahkanlah kepadaku ilmu.” Dan, sesungguhnya Kami telah mengadakan perjanjian dengan Adam sebelum ini, tetapi ia telah lupa dan Kami tidak mendapatkan padanya tekad [untuk berbuat durhaka]. (Thaa Haa [20]:115-116).
Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda, "Carilah ilmu pengetahuan sekalipun mungkin ditemukannya jauh di rantau Cina" (Shagir, jilid I). Di tempat lain dalam Al-Quran hikmah telah dilukiskan sebagai "karunia Allah yang sangat besar" (Qs.2:270 & Qs.4:114). Ilmu itu ada dua macam:
(a) ilmu yang dianugerahkan kepada manusia dengan perantaraan wahyu dan yang telah mencapai kesempurnaan dalam wujud Al-Quran.
(b) Ilmu yang didapatkan oleh manusia dengan usaha dan jerih-payahnya sendiri.
Dengan mengisyaratkan kepada peristiwa kekeliruan yang dilakukan oleh Nabi Adam a.s. ketika menghadapi tipu-daya syaitan, Allah Ta’ala telah mengajarkan doa meminta tambahan ilmu tersebut kepada Nabi Besar Muhammad saw., sebab akibat kurang memiliki ilmu pengetahuan yang memadai dapat menyebabkan terjadinya kekeliruan dalam mengambil suatu keputusan penting atau dalam menafsirkan sesuatu, sebagaimana yang dikatakan seorang “hamba Allah” kepada Nabi Musa a.s. ketika beliau belajar ilmu dari hamba Allah tersebut, firman-Nya:
Maka [keduanya] bertemu dengan seorang hamba dari antara hamba-hamba Kami yang telah Kami anugerahi rahmat dari Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi (hadirat) Kami. Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikuti engkau supaya engkau mengajarkan kepadaku petunjuk dari apa-apa yang telah diajarkan kepada engkau?” Dia (hamba Allah) berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan pernah sanggup bersabar bersamaku. Dan bagaimanakah engkau dapat bersabar tentang sesuatu yang engkau tidak dapat menguasai ilmunya?” (Al-Kahf [18]:66-69).
Jadi menurut ayat tersebut bahwa kealpaan Adam a.s. hanyalah disebabkan oleh kekeliruan dalam pertimbangan, bukan benar-benar suatu kedurhakaan yang disengaja. Pelanggaran tersebut terjadi sama sekali tidak dasari suatu niat atau kehendak untuk melakukan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala. Manusia -- siapa pun mereka -- tidak luput dari kesalahan.

Perintah Hijrah dari Jannah

Dikarenakan tipu-daya syaitan telah menyebabkan timbulnya perselisihan dan perpecahan di kalangan istri yakni Jemaat (pengikut) Nabi Adam a.s. -- yang dimisalkan dengan “terbukanya aurat” keduanya -- maka setelah beliau berhasil menutupi kembali aurat tersebut dengan waraq (auraq) atau "daun-daun surga" -- yaitu para anggota jemaat beliau yang tetap memiliki kepatuh-taatan kepada beliau -- lalu Allah Ta’ala memerintahkan beliau dan para pengikutnya (istrinya) berhijrah dari jannah (kebun), karena keadaan di dalamnya tidak kondusif lagi bagi Nabi Adam a.s. dan jemaat (istri) beliau, firman-Nya:
Dia berfirman, "Per­gilah kamu sekalian dari sini, sebagian kamu adalah musuh bagi sebagian lain. Dan bagimu di bumi ini terdapat tempat kediaman dan bekal hidup sampai masa tertentu." Dia berfirman, "Di situlah kamu sekalian akan hidup dan di situlah kamu akan mati, dan darinya kamu akan dikeluarkan.” (Al-A’raaf [7]:25-26).
Ayat ini menunjukkan bahwa Adam a.s. diperintahkan supaya berhijrah dari tanah tumpah darah beliau yang disebut jannah (kebun), sebab suasana permusuhan dan benci-membenci telah tumbuh di tengah berbagai anggota jemaat beliau. Hal itu merupakan bukti lebih lanjut tentang kenyataan bahwa jannah (kebun) yang darinya Adam a.s. k:eluar itu, bukanlah surga.
Rupa-rupanya Adam a.s. berhijrah dari Mesopotamia, tanah kelahiran beliau, ke negeri yang berdekatan. Hijrah itu bersifat sementara dan beliau agaknya telah kembali lagi ke negeri tempat asal tak lama sesudah itu. Sungguh, kata-kata “bekal hidup sampai masa tertentu” mengandung isyarat halus tentang hijrah yang bersifat sementara itu. Adam .s. diperingatkan dalam ayat ini agar berhati-hati di masa depan, sebab adalah di tanah air sendirilah (jannah) beliau harus tinggal untuk selama-lamanya.
Jika ungkapan ayat “di situlah kamu sekalian akan hidup dan di situlah kamu akan mati, dan darinya kamu akan dikeluarkan” diartikan secara umum, hal itu mengisyaratkan bahwa tidak ada manusia yang dapat naik ke langit dengan tubuh kasarnya. Manusia harus hidup dan mati di bumi ini juga. Firman-Nya:
Dia berfirman, "Pergilah kamu berdua semuanya dari sini, sebagian kamu musuh bagi sebagian yang lain. Maka apabila datang kepadamu petunjuk dari­-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku maka ia tidak akan sesat dan tidak akan menderita kesusahan, sedangkan barangsiapa ber­paling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. Ia berkata, "Wahai Rabb-ku (Tuhan­-ku), mengapa Engkau telah mem­bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal sesungguhnya dahulu aku dapat melihat?” Dia, berfirman, "Demi­kianlah telah datang kepadamu Tanda-tanda Kami, tetapi engkau melupakannya dan demikian pula engkau dilupakan pada hari ini." Dan demikianlah Kami memberi balasan orang yang me­langgar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda Rabb-nya (Tuhan-nya). Dan sesungguhnya azab akhirat itu lebih keras dan lebih kekal. Maka tidakkah ini mem­beri petunjuk kepada mereka, berapa banyak keturunan (generasi) telah Kami binasakan sebelum mereka, mereka berjalan-jalan di tempat-tempat tinggal mereka yang telah hancur. Sesungguhnya, dalam hal yang demikian itu adalah Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Thaa Haa [20]:124-129)
Perkataan "kamu berdua" maksudnya ialah dua golongan manusia, yaitu para pengikut Adam a.s. dan murid-murid syaitan. Kata kum (kamu) dan jami’a (semua) juga menunjukkan, bahwa saat itu, tidak ditujukan kepada dua orang melainkan kepada dua golongan manusia atau dua partai. Hal itu jelas pula dari Qs.7:25, di tempat itu telah dipakai kata jamak ihbithuu (pergilah kamu semua) dan bukan ihbitha (pergilah kamu berdua).
Ringkasnya, Adam a.s. berhijrah dari Irak, tanah tumpah darah beliau, ke suatu negeri tetangga. Rupanya hijrah itu hanya untuk sementara waktu saja, dan besar kemungkinan tidak lama kemudian, beliau kembali ke tanah air beliau. Kata-kata, dan bekal hidup sampai suatu masa tertentu (Qs.7:25) mengandung isyarat, bahwa hijrah itu dimaksudkan hanya untuk sementara waktu.

Buta Mata Ruhani di Dunia dan Di Akhirat &
Tipu-daya Syaitan

Makna kalimat “barangsiapa ber­paling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta” adalah bahwa seseorang yang sama sekali tidak ingat kepada Allah Ta’ala di dunia, serta menjalani cara hidup yang menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya -- dan dengan demikian membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Ta’ala -- ia akan dilahirkan dalam keadaan buta di waktu kebangkitannya kembali pada kehidupan di akhirat.
Hal itu menjadi demikian, karena ruhnya di dunia ini -- yang akan berperan sebagai tubuh bagi ruh yang lebih maju ruhaninya di alam akhirat -- telah menjadi buta, oleh karena ia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia ini, firman-Nya:
Dan barangsiapa yang buta di [dunia] ini, maka dia di akhirat akan buta pula dan lebih tersesat dari jalan [yang benar]. (Bani Israil [17]:73).
Jadi, sebagai jawaban terhadap keluhan orang kafir -- mengapa ia dibangkitkan buta padahal dalam kehidupan sebelumnya ia memiliki penglihatan -- Allah Ta’ala akan berfirman, bahwa ia telah menjadi buta ruhani dalam kehidupannya di dunia, oleh sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa; dan oleh karena ruh-nya akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat, maka ia dilahirkan (dibangkitkan) buta di hari kemudian.
Ayat ini dapat pula berarti, bahwa karena orang kafir tidak mengembangkan dalam dirinya sifat-sifat Allah Ta’ala, dan tetap menjadi asing dari sifat‑sifat itu, maka pada hari kebangkitan ketika sifat-sifat Allah Ta’ala itu akan dinampakkan dengan segala keagungan dan kemuliaan, ia sebagai seseorang yang terasing dari sifat­-sifat itu, tidak akan mampu mengenalnya dan dengan demikian akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai ingatan atau kenangan sedikit pun kepada sifat-sifat itu.
Dalam surah Al-A’raaf ayat 21, tipu-daya yang dikemukakan syaitan kepada Adam a.s. adalah dengan mengatakan bahwa Allah Ta’ala melarang keduanya mendekati “pohon” tersebut adalah supaya jangan menjadi malaikat atau jangan menjadi di antara orang-orang yang hidup kekal, dan untuk meyakinkan keduanya syaitan bersumpah bahwa ia adalah benar-benar pemberi nasihat yang tulus-ikhlas (Qs.7:22).
Sedangkan dalam Qs.20:121 syaitan mengatakan kepada keduanya bahwa ia akan menunjukkan kepada keduanya tentang “pohon kekekalan” dan “kerajaan yang tidak akan binasa”, yakni syaitan menjanjikan hal-hal yang hawa-nafsu manusia sangat mendambakannya, hal itu pulalah yang menyebabkan di kalangan para pengikut Nabi Adam a.s. telah timbul perselisihan akibat tipu-daya syaitan tersebut.

(Bersambung)
Rujukan: The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar