Selasa, 08 September 2009

Kepercayaan Kepada Adanya Kesaktian

oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Tanggapan atas buku “Tatanegara Majapahit Sapta Parwa” karya Profesor H. Muhammad Yamin, pasal III “Negara Majapahit Dalam Alam Nurani Kesaktian


BAB I


Kepercayaan Kepada Adanya Kesaktian


Pada pasal III yang berjudul “Negara Majapahit Dalam Alam Nurani Kesaktian” Profesor H. Muhammad Yamin SH.menulis dalam bukunya:
9. Barangsiapa yang berpurwasangka, bahwa sesuatu buku tentang susunan tatanegara seperti ini agak ganjil, apabila didahului oleh suatu pasal menjelaskan tinjauan-hidup kesakti­an, maka pembaca yang demikian itu dapat kami arahkan kepada kalimat-pertama dalam buku Hukum Adat bagian aturan negara, yang dikarang oleh pembentuk pengetahuan adat Indonesia, Prof. C. van Vollenhoven:
Awal mulanya adalah kesaktian. In den beginne — zoo onderstelt men — was de magic: het geloof van den ontwakende primitieven mensch aan, en zijn angst voor, een hem omringende natuur vol geheimzinnige wonder-kracht (Het Adatrecht; 1931; II, hlm. 77).
Demikianlah bunyi kalimat yang dituliskan mahaguru itu, seolah­-olah menyamai kalimat pertama dalam Kitab Kejadian. Kalimat tentang adanya kesaktian tentulah tidak dipakai sebagai hiasan kesusasteraan belaka, melainkan dapat dipandang sebagai nasihat bagi para yuris (ahli hukum) yang masuk ke dalam lingkungan dunia-tatanegara Indonesia yang didukung dan dibela oleh pikiran dan pendapat yang berurat-berakar dalam dunia kepercayaan kepada adanja benda-halus (zat gaib, hal gaib - Ki LLB) yang bernama kesaktian (magi, tuah, sakti, mana; Jawa: sekti, kasekten; Jawa kuno: kacaktyan; Minangkabau: kasaktian, sati, tuah; Batak: sati).
Dalam perkembangan sejarah, ternyata bahwa negara tidak mempunjai akhir kemajuan serta tidak pula mengenal bentuk berkesudahan yang sempurna. Bentuk dan tujuannya selalu menga­lami perubahan, karena negara adalah alat-piranti (sarana) yang tersu­sun dalam tangan manusia, sebagai anggota sesuatu masyarakat.
Dari kerajaan Tarumanagara sebelum abad ke-VI sampai ke Negara-kesatuan Republik Indonesia pada pertengahan abad ke-XX, dengan melalui -- misalnya negara-negara Sriwijaya, Mataram, dan Majapahit -- maka memang istilah negara itu dapat dipakai untuk me­namai kesamaan alat-piranti (sarana) kelahiran masyarakat tersebut sebagai a Community organised for action under legal rules (Vinogradoff dalam Historical Jurisprudence), tetapi bentuk dan dasar-pikiran yang melahirkannya selalu mengalami perubahan besar dan kecil.
Di bawah ini akan dibahas berdasarkan lingkaran tinjauan-hidup atau pandangan-dunia, yaitu apakah negara Majapahit itu -- sejak dari lahir sampai kepada hilangnya -- tersusun sebagai bentukan dalam perjalanan sejarah Indonesia?

Selanjutnya Prof. H. Muhammad Yamin SH. menulis:

Mengenai siapa yang pertama dari semua ahli-bangsa atau ahli-jiwa yang mendapati adanya kepercayaan orang Indonesia kepada benda magi (sakti) tidak akan dibahas dalam karangan ini. Ahli bangsa seperti Wilken, Adriani, Taylor dan Kruyt hanya menge­mukakan tentang kepercayaan kepada anima (semangat, daya hidup, kekuatan hidup) di antara semua benda jang ada, sehingga menurut paham animisme, tidak ada bedanya antara benda yang dianggap hidup atau mati.
Dalam karangannya sampai tahun 1931, Prof. C. van Vollenhoven hanya berpendapat, bahwa beberapa tatanan hukum-adat -- seperti hak lingkungan desa dan negara -- adalah penjelmaan pikiran (kepercayaan) luhur, sedangkan seluruh hukum-adat itu berasal dari zaman jahiliyah purbakala Malaio-Polinesia. Barulah dalam tahun 1931 ia berkata, bahwa hukum-adat itu berdasarkan kepercayaan istimewa kepada kesaktian.
Beberapa waktu sebelum itu, Dr. J. Mallickrodt mengumpulkan pemberitaan di antara orang Dayak di pulau Kalimantan-Timur, dan atas pemberitaan yang dikum­pulkan dengan saksama itu, nyatalah bahwa hukum-adat Kalimantan itu berdasar kepercayaan-asli kepada benda-halus (benda/hal gaib) yang ber­nama magi (Het adatrecht van Borneo; 1-11; 1928).
Selang beberapa lamanya terbit karangan Prof. Dr C.C. Berg tentang penulisan sejarah Jawa (1938), yang dengan jelas me­nerangkan pendapatnya, bahwa orang Indonesia mempunjai kepercayaan kepada bermacam-macam kesaktian, di antaranya: kesakti­an-kesusasteraan, kesaktian-kata dan kesaktian-hukum.
Karangan Prof. Dr G.J. Held, yang banyak menyelidiki adat-istiadat Indonesia, paling mudah dikenal sebagai tulisan tentang adanja tenaga­-kesaktian menurut kepercayaan Indonesia, seperti dapat dibaca dalam bukunya: Magie, hekserij en toverij (1950).

Lebih lanjut Prof. H. Muhammad Yamin SH. menulis:

Kesaktian Hukum

10. Dalam risalah kita ini, adanya kepercayaan kepada kesaktian dan kesaktian-hukum itu akan diselidiki lebih lanjut, sikap-ruhani orang Indonesia yang tidak terikat oleh waktu dan ruangan serta berdasar kepada kepercayaan adanya kesaktian -- dengan segala pengaruh dan akibatnya terhadap pribadi sendiri, lingkungan masyarakat dan cakrawala -- itulah yang kita namai pada per­mulaan pasal ini dengan perkataan tinjauan-hidup atau tin­jauan-dunia dengan kesadaran (keyakinan), bahwa hidup dan dunia itu meli­puti segala yang memiliki anima (semangat, daya hidup, kekuatan hidup) -- baik yang kelihatan mau pun yang gaib -- menurut kepercayaan asli orang (masyarakat) Indonesia.
Dengan sengaja kita tidak memakai istilah sifat sederhana, primitif atau jahiliyah terhadap tinjauan-dunia (die weltan schauung), karena segala istilah (primitive/jahiliyah) itu mempunyai warna dan nilai-perasaan yang menyatakan tingkatan nista-rendah, sehingga mungkin akan timbul salah pengertian atau salah sangka, seolah-olah sikap ruhani itu berhubungan erat semata-mata dengan anggapan kejahiliyahan atau pikiran yang terbelakang kecer­dasannya. Padahal tinjauan hidayah (petunjuk) kesaktian juga mungkin dimiliki oleh pemangku agama Syiwa, Buddha, Kristen atau Islam, baik dengan segala keinsyafan (disadari) ataupun tidak.
Tinjauan-hidup demikian adalah semacam sikap ruhani kepada jagat-kecil (micro cosmos) dan jagat-raya (macro kosmos) atau semacam cara berfikir. Orang Indonesia pemeluk agama yang memiliki kitab-suci, boleh jadi -- dan mungkin sekali -- masih berpikir menurut susunan tinjauan-hidup kesaktian, baik selu­ruhnya atau pun sebagian-sebagian, apabila dari keruhaniannya dapat dipisahkan pengaruh tinjauan-dunia yang baru diterimanya -- yang pada umumnya dibatasi atau ditentukan oleh cara berpikir rasionalisme, atau menurut ajaran-­ajaran yang tersimpan dalam kitab suci mereka masing-masing -- maka di belakang istilah tinjauan-hidayah (petunjuk) itu perlu kita tambahkan kata kesaktian (sakti) kepadanya, karena pada akhirnya sikap ruhani itu dapat dijelaskan dengan adanya kepercayaan kepada benda kesaktian (benda sakti) atas anggapan (kepercayaan) berdasarkan pengalaman turun-temurun, yang berpengaruh besar kepada tingkah-laku serta perhubungan dengan masyarakat, negara atau seluruh alam.
Dalam tulisan ini pembaca akan bertemu dengan istilah kesaktian-hukum, dan yang dimaksudkan dengannya ialah kesaktian yang menjadi dasar atau tempat bersumbernya tinjauan-hidup terhadap seluruh susunan beberapa tatanan hukum-adat, hukum-perdata dan hukum-pidana dalam lingkaran adat Austronesia; dalam buku ini terutama terhadap susunan tata ­negara dan aturan tanah dalam zaman yang dibatasi oleh daerah pemeriksaan (penyelidikan).
Melihat dan dengan mempertimbangkan kegunaan pasal ini bagi penyelidikan hukum tata negara yang terbatas, maka kita tidak dapat membahas dengan sangat mendalam seluk-beluk zat-kesaktian, melainkan cukup sekedar menjelaskan pengaruh kesaktian-hukum terhadap penyusunan (pembentukan) negara-negara (kerajaan-kerajaan) yang dikenal sejarah Indonesia.
Jadi penyelidikan itu benar-benar sangat terbatas, sehingga dengan demikian kelahiran dan peristiwa kesaktian hukum dapat kita kumpulkan atau kita bicarakan di sekeliling lima sifat kesaktian seperti tersebut di bawah ini.

Lima Sifat Kesaktian:
(1) Benda Kesaktian (Mukjizat Sakti)

11. Pertama: Benda kesaktian (tuh, sakti, mana, tuah). Di­ atas telah dikemukakan bahwa benda-halus (benda gaib) yang bernama kesaktian itu dirasakan mengisi segala ruangan atau barang yang ada, dan mempunyai bermacam-macam nama, yaitu: mana (Poliynesia); fetis, dari kata feitica (Portugis); wajra, sakti (Sangsekerta); kesaktian (Jawa kuno); sekti (Jawa); sati, tuah (Minangkabau).
Perbandingan bahasa-bahasa Austronesia dapat memi­sahkan urat-kata untuk menamai kesaktian itu dengan nama asli, yaitu tu (to, tuh) yang hidup, misalnja dalam kata-kata tu-ah, ra-tu, Tu-han, wa-tu, to-huh, tu-mbuhan dan lain-lain. Benda kesaktian (benda sakti) itu dinamai juga dalam buku ini zat-kesaktian atau mukjizat sakti.
Adanya benda kesaktian (zat-kesaktian atau mukjizat sakti) itu tidak hanya karena dialami oleh panca-indera manusia, melainkan semata-mata karena terbukti dialami atas dasar anggapan (kepercayaan). Zat-halus (zat gaib) itu terdapat baik itu dalam keadaan hening (diam/tenang) maupun bergerak.
Apabila kesaktian itu dalam keadaan diam, tenang dan hening, ia tidak memperlihatkan tenaga-ketegangan, walaupun dalam keadaan berpadu dan terkumpul pada tempat yang tertentu, baik terikat atau lepas sekalipun. Maka tempat atau biji (benda) perpaduan zat-kesak­tian itu dianggap bersifat: sakti, sekti, sati, bertuah atau angker.
Perkataan (istilah) kesaktian (Jawa kuno: kasaktyan) pada awalnya hanya me­nunjukkan tempat yang berisi zat (kesaktian) itu, namun kemudian bagian seke­liling tempat berpadunya zat (kesaktian) itu pun dinamai pula demikian, dan tempat melakukan persembahan kepada zat itu dinamai juga kasaktyan.
Selain dalam keadaan hening (diam), zat kesaktian ada juga dalam keadaan bergerak atau bersinar. Pengaruh sinar atau gerak ke segala penjuru itu berlangsung dari pusat perpaduan di suatu tempat atau di beberapa tempat. Pengaruh sinar atau gerak itu bagi benda atau manusia yang dikenainya, ada yang baik dan ada pula yang buruk, semuanya berhubungan dengan akibat yang dialami karena penyinaran dari luar tersebut
Sesungguhnya kesaktian-buruk dan kesaktian-baik itu bukanlah dua macam zat yang berbeda, melainkan satu macam kesaktian yang mempunjai perbedaan me­nurut pengaruh baik atau pengaruh jahat (buruk) yang dialami berdasarkan anggapan orang, negara, persekutuan, tumbuhan atau benda yang lain-lain.
Pendapat terhadap zat-kesaktian seperti dijelaskan di atas, mem­beri akibat dalam susunan-negara Majapahit, bahwa tiap-tiap kesatuan-hukum jang paling rendah sampai ke daerah keperabuan (keprabonan) yang paling tinggi, adalah wilayah-hukum yang dipersatukan oleh tenaga-kesaktian, yang masing-masing dilindungi oleh Dang Hiyangnya.
Sang Hiyang Tunggal menurunkan kuasa luhur dan disembah sebagai penyusun yang paling tinggi. Di daerah kesaktian itu terdapat pusat yang berisi sari-kesaktian, baik itu berupa Kepala negara atau Ratu kerajaan dan Ratu daerah. Demikian pula tanah sima (sudharma) pun mempunjai tuah-kesaktiannya pula.
Dasar kepercayaan seperti yang dijelaskan dalam karangan ini acap kali diterjemahkan oleh beberapa penulis-animisme lama -- seperti Wilken, Adriani, Kruyt dan Taylor -- bahwa orang Indonesia mempunjai tinjauan hidup polytheisme dengan menyembah tumbuhan, batu, dan bintang, sebagai benda hidup yang memiliki anima (semangat; kekuatan hidup; daya hidup).
Semuanya itu adalah sifat zat-kesaktian, yang di­jelaskan oleh Kern dengan kalimat: de of het onzichbaar aanwezige in 't diepst van gepeins", yaitu dari kalimat [Empu] Prapanca yang diartikan oleh Kern sebagai 't als monade, atoomachtige gedachte beginsel van 't bewustzyn, atau zat-sakti, yang menurut falsafah masyarakat Indonesia dinamakan Sakalaniskalatma, yang membedakan benda yang nyata (sakala) dari zat yang tidak nyata (niskala).
Falsafah sakalaniskalatma seperti dikenal oleh Prapanca dalam kitabnya Negarakertagama, sesuai dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika yakni “persatuan di atas perbedaan” atau perbedaan di atas per­satuan dalam pertentangan antara yang ada (sakala) dan yang tidak ada (niskala); pada hakikatnya persatuan itu mengandung wujud bahwa seluruhnya dimasuki zat tuh (kesaktian, sakti, mana, tuah).
Adapun pikiran falsafah Empu Tantular di atas, telah diajarkan dalam bukunya Sutasoma, kedua-duanya sesuai dengan aliran pikiran pada pertengahan abad XIV, dan telah dikemukakan 450 tahun lebih dahulu oleh Empu Kanwa dalam bukunya Arjunawiwaha, yang mengemukakan bahwa zat-sakti atma ada dalam segala benda yang nyata dan dalam sarwa yang tak nyata.

Prof. H. Muhammad Yamin SH. selanjutnya menjelaskan:

(2) Paduan Kesaktian

12. Kedua: Paduan kesaktian. Zat kesaktian -- baik yang lepas maupun yang ter­ikat -- ada yang dalam keadaan berpadu. Zat kesaktian yang lepas tidak terikat dirasakan terdapat di gua, mata-air, gunung, bukit, kawah/kepun­dan, kuburan, singgasana, pohon beringin, candi dan lain-lainnja.
Kesaktian yang lepas-bebas inilah yang acapkali dianggap memiliki tubuh dan hidup dalam ruangan udara, yang di daerah Austronesia memakai bermacam-macam nama: Sang-Hiyang Desa, Sang Bromo, Ratu Lara Kidul (Jawa dan Bali); Kraeng Lowe (Sulawesi Selatan); dan Sanieng Sari, Panunggu nagari (Minangkabau).
Dalam tulisan tentang animisme, kita selalu menjumpai beberapa perkataan (istilah), seperti: goden, geesten, duivels, spoken, demonen, engelen, zielen, tetapi semuanya itu adalah nama bagi kesaktian dalam keadaan berpadu. Perkataan asing itu sebe­narnya adalah salinan yang menerjemahkan pengertian-pengertian asli, yang isi dan maksudnya tidak dapat ditentukan oleh masing-masing perkataan (istilah/nama) itu saja, melainkan baru dapat diterangkan lebih jelas apabila dihubungkan dengan tinjauan-hidup kesaktian.
Kesaktian yang terikat terdapat dalam beberapa benda dan bagian tubuh manusia seperti: rambut, kepala, kuku, air ludah dan liquor vaginae et uteri. Sangat berpadunya zat [kesaktian] itu terikat dalam benda pusaka, seperti: keris pusaka, upacara kebesaran, kraeng lowe; tumbuh-tumbuhan yang berkulit, berdaun, berurat, berbuah atau bergetah, yang mempunyai rasa istimewa, seperti: pohon maja (aegle marmelos), kahwa, sitawar, sicerek, ketapang. Demikian juga bermacam-macam batu disangka (dianggap/dipercayai) mem­punyai muatan sakti (kesaktian) yang kuat, seperti mustika, batu berwarna, batu lumalang, mutiara, mutisalah, batu geliga dan gigi-guntur.
Berhubung dengan urat-kata asli tu (tuh, to) yang menunjukkan zat kesaktian menurut perbandingan bahasa-bahasa yang masuk rumpun Austronesia, maka perlu pula diperhatikan bahwa urat-kata itu terdapat dalam kata-kata seperti to (orang dalam bahasa Toradja), tu (Makasar dan Bugis): tubuh (badan manusia dan binatang), tumbuhan (kayu-kayuan) dan Tuhan (hiyang), maka menurut perkataan ini segala yang ada itu berisi kesaktian yang terikat, yang menjadi dasar dan watak teristimewa bagi tin­jauan-hidup kesaktian, bahwa semuanya hidup (memiliki anima/semangat).
Sikap ruhani ini memang jauh berlainan dari tinjauan-hidayah (petunjuk) yang rasional dengan membedakan benda mati dan benda hidup di antara segala yang ada di alam.
Memuliakan gunung atau bukit dapat dijelaskan sebagai tempat yang padanya terdapat paduan kesaktian. Raja-raja Indonesia acap kali dianggap berhasil (sukses), pada awalnya mereka turun dari puncak gunung dan memindahkan zat-sakti itu di kakinya ke dalam negara.
Raja Teri Buana -- yang cucurannya menurut sejarah Melayu -- berkuasa di Sriwijaya, Majapahit, Kalimantan, Semanjung dan Minangkabau, pada awalnya turun dari Bukit Siguntang dekat kota Palembang. Siguntang adalah ringkasan dari Sigunung Dapunta hiyang, nama yang tersebut dalam tulisan batu (prasasti) Kedudukan Bukit bertarikh Masehi 683.
Dalam beberapa prasasti Jawa-kuno berkali-kali beberapa gunung diseru atau dipanggil karena saktinja (kesaktiannya) pada waktu hendak menggunakan kebenaran isi sumpah.
Dalam kitab Nagarakertagama disebutkan, bahwa pujangga beragama Buddha seperti Prapanca membuka (memulai) bukunya, Nagarakertagama, dengan memuliakan mukjizat kesaktian secara Syiwa karena ia menyerukan: Om nathaya namotsu - Ong, segala kemuliaan bagi Yang Melindungi, dengan memanggil Sang Cri Parwwatnatha, natha ning antha = Sang Seri Parwatanata, pelindung orang yang membutuhkan bantuan.
Kern menerangkan bahwa nama Sang Cri-Parwwatanatha itu dapat dipahamkan atas dua macam: Cri parwwata + nathaa = yang me­nguasai Cri parwwata atau parwwatanatha = Dapunta hiyang di gunung, tetapi kedua nama itu tak sesuai dengan gelaran maha­dewa Syiwa yang biasanya dinamai Girica, Girindra = tuan di gunung (Kern, Nagarakertagama, hlm. 24, 97).
Kern juga tidak menemukan kedua nama itu dalam kitab-kitab Hindu, walaupun Criparwwata (Syriparwwata) memang dikenal sebagai nama gunung. Terhadap tanah Indonesia, pujangga Walmiki dalam bukunya Ramayana, telah menuliskan kalimat tersebut kira-kira lima perempat ribuan tahun (200 tahun) lebih dahulu daripada Prapanca.
Demikian juga nama-nama anggota radjakula Syailendra dengan Cailendrawamsa-tilakah (hiasan bangsa Indera yang menguasai gunung) sangat mendekati pengertian-kesaktian yang tersimpan dalam nama raja-raja Siguntang = turunan dari Gunung Dapunta Hiyang. Ketiga contoh ini menandakan adanya kepercayaan kepada gunung dan bukit, tempat duduknya paduan-sakti (kesaktian) sebagai pars pro toto alam-ruhani berisi zat tuah (zat sakti/kesaktian). Juga tidak sesuainya nama-nama di atas dengan sifat-sifat mahadewa Syiwa, mendorong kita ke jurusan kepercayaan rakyat.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, juga sampai ke zaman agama Islam ke sini, pengertian gunung itu acap kali dipakai nama para wali atau orang terkemuka. Dalam sejarah dikenal nama: Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sultan Prawoto di Demak. Selain itu nama-nama tersebut dapat disusul (ditelusuri) sampai ke abad ketujuh, seperti dapat dibaca pada nama Sigunung Da­punta Hiyang, yang diringkaskan menjadi Siguntang di pusat kedatuan Sriwijaya - Palembang, juga sejak didapatnya beberapa tulisan pada abad ke-XV yang menyebutkan radjakula Maja­pahit jang bernama Girindrawarddhana maka dapatlah diambil keputusan pikiran (kesimpulan), bahwa sejak purbakala pengertian bukit dan gunung selalu mengisi alam-nurani Indonesia.
Demikian pula Sarga Ramayana yang menyuruh mengunjungi daerah Indonesia untuk mencari Dewi Sita (Sinta), seperti dituliskan oleh pujangga Walmiki:
Adalah Gunung Pesisir (Ciciro nama parvatah), yang puncaknya menyapu langit dan dikunjungi oleh dewa dan danawa".
Sejak permulaan tarikh Masehi, rupa-rupanya sudah terdengar keluar negeri adanja gunung Perwata di kepulauan Nusantara yang diduduki oleh kekuasaan gaib.
Pengaruh Indonesia ke peradaban India purbakala tidaklah tinggal (terdapat) pada pengetahuan pujangga Walmiki itu saja, melainkan dapat dihubungkan pula dengan hasil penyelidikan pra sejarah yang mem­beri pegangan tentang perpindahan dari Timur menuju ke Barat di benua Asia Selatan.
Lagi pula beberapa ahli penjelidik keper­cayaan memberi bahan, sehingga timbullah permulaan keyakinan berdasarkan pengetahuan tentang pemujaan lingga, hal itu bukan peradaban asli India, melainkan datang dari luar, malahan berasal dari peradaban purwa-Austronesia dari Asia Timur menudju tanah India pada zaman pra-sejarah.
Oleh karena itu pendapat yang menyatakan bahwa per­adaban Indonesia sebelum abad ke-XV semuanya itu Hindu, memberi nasihat supaya penyelidikan mengenai sejarah-peradaban Austronesia hendaknya dilakukan lebih berhati-hati lagi, supaya pemecahan masalah akkul­turasi (kebudayaan) jangan tersesat pada dasarnya.

(3) Sari Kesaktian

13. Ketiga: Sari-kesaktian. Adapun zat kesaktian jang terikat itu adakalanya sangat keras paduannya sehingga berupa persatuan atau perseorangan (pribadi). Maka paduan kesaktian inilah yang kita namai sari-kesaktian, dan essence (intisari/biang) itu terdapat misalnya dalam tubuh (diri) manusia bernama: semangat, sumangat (Minangkabau: sumangek: Batak: sumangot), nyawa, jiwa (Sangsekerta) dan hawa (Arab). Di atas telah kita kemukakan bahwa semangat (anima/daya hidup) itu sedikit-banyak terdapat pada segala benda dalam dunia.
Demikian juga di dalam tubuh manusia sari kesaktian tidak sama banyaknya. Orang tua, tua, raja, (ratu) dan orang perantara (mediator/dukun) mempunyai lebih banyak sari kesaktian daripada orang yang belum berusia, anak buah atau orang biasa. Perbedaan muatan-kesaktian tersebut menimbulkan rasa perbedaan tinggi-rendah kedudukan, perbedaan ringan-berat perkataan yang diucapkan, sehingga oleh (akibat) kesaktian-kata timbullah dasar memberi hormat, bersifat patuh, dan menurut (mentaati) titah raja, serta juga berpengaruh besar kepada timbulnya tingkatan tinggi-rendah dalam suatu bahasa.
Bertebarnya kepercayaan (keyakinan) bahwa Kepala-negara (raja/ratu) itu menyimpan atau berisi (memiliki) sari-kesaktian -- seperti yang berlaku sejak purbakala sampai kepada zaman Singasari-Majapahit dan sesudahnya -- menyebabkan terbentuknya menurut tinjauan kesaktian itu aturan-upacara yang dapat dinamai pemujaan-ratu. Dan pemujaan itu adalah pusat pembentukan kesatuan-hukum atau kesatuan-negara sepanjang sejarah Indo­nesia sebelum abad ke-XX.
Pemujaan terhadap raja, ratu, datu, dan perabu (prabu) adalah sebagian dari pemujaan terhadap orang-orang dahulu (leluhur) yang menurunkan (mewariskan) tuah­ kesaktiannya kepada orang yang sedang berkuasa. Sesuatu (seseorang) rajakula dianggap bekerja dalam kesatuan yang anggotanya hidup atau mati, sehingga pemujaan-ratu itu adalah suatu tenaga pem­bentuk kesatuan-hukum berupa keluarga (dinasti/wangsa) atau negara, seperti yang dialami oleh sejarah Indonesia.
Maharadja Belitung memuja nenek-moyangnya sejak dari Rakai Sanjaya sampai kepada seri maharadja yang ketujuh, Rakai Watu Humalang. Maka kedelapan cikal-bakal yang meninggal itu dimuliakan dengan kalimat: Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu (Prasasti Kedu, kalimat 7 dan 8).
Para raja yang telah meninggal ditegur (diseru/disebut) dengan perkataan dewata prasiddha, yang dimaksudkan bukan­lah para dewa Hindu, melainkan para perabu (prabu) jang sudah dilumahkan dan waktu itu menjadi pelindung negara.
Dua kali dalam prasasti didapat tanda pemujaan ratu yang telah meninggal, seperti terbukti pada kalimat 27 - 28 di batu (prasasti) Singasari, berasal,dari maharaja Daksa (915): Sakweh ta dewata prasiddha mangraksang kadatuan Sri maharaja ing bhumi mataram (Brander, O.J.O. XXX, hlm. 41).
Ada pun orang-orang pada zaman dahulu (leluhur) atau para perabu jang menjadi pujaan setelah dilumahkan dianggap mempunyai sari-kesaktian yang makin lama makin kuat paduannja, sehingga kesudahannya menjadi hiyang-kesaktian, seperti akan dijelaskan di bawah ini.

(4) Sang Hiyang Kesaktian

14. Keempat: Sang Hiyang Kesaktian. Seluruh kesaktian da­lam segala keadaan dikuasai oleh suatu tenaga sakti yang dinamai Sang Hiyang Tuhan, Dang Yang atau Sang Tuhan. Dialah yang menggerakkan, memberhentikan dan menentukan arah gerakan kesaktian menurut keinginan (kehendak) sendiri. Sang Hiyang itu adalah juga pusat dari segala zat kesaktian -- baik terikat atau lepas, tergabung atau pun dalam ke­adaan berpadu.
Tentang nama asli Tuhan, yang juga dilanjutkan memakainya oleh orang Indonesia pemeluk agama baru yang berkitab suci untuk menyatakan Tuhan Yang Maha Esa menurut kitab sucinya masing-masing, ternyata asal mulanya adalah nama menurut tinjauan-hidayat asli yang mengenal zat yang bernama tuh. Orang Dayak masih menamai Yang Maha-kuasa dengan sebutan Tuh tersebut
Perlu juga diingat, bahwa rupa-rupanya sudah sejak abad ke-14 perkataan Tuhan acap kali bertukar dengan perkataan Tuan barangkali karena dipengaruhi oleh kata tua (bahasa Sunda: toha/toha-an), yang semuanya berisi urat-kata tu, menunjukkan zat-kesaktian seperti telah dijelaskan di atas.
Di daerah Minangkabau bagian luhak Tanah Datar, tuan adalah panggilan kepada kakak dan kepada perempuan yang dimuliakan sebab lebih kuat kesaktiannya, karena lebih tua usianya atau turunannya (silsilah leluhurnya), seperti terbukti pula nama Tuan Gadieh Reno Sumpu (Tuan Gadis Raina Sumpu-Kudus) dari Kumanih, yang mempunyai sejarah lama berhubungan dengan keluarga raja-raja Pagaruyung dan Sungai Lembu sebagai bela­han (bagian/cabang) keturunan Adityawarman dari abad ke-14. Reno adalah ra-ina (dang ibu) = tuan gadis, seperti juga tersimpan dalam nama­-nama raja-puteri di negara Merina di Madagaskar.
Dalam zaman Majapahit, perkataan Tuhan bukan saja nama bagi Yang Mahakuasa, melainkan juga dipakai untuk menya­takan anggota golongan (kasta) sateria (satria) yang dianggap lebih teguh kesaktiannya daripada manusia lainnya, seperti nama : Tuhan Janaka, Kanaka, Tita, Sohan, Sahaya, Wuruyu, Wegola dan Gempong (Pararaton) dan Dewa Tuhan Apatih (Batu bertulis dari Rambahan, Batanghari).
Berkenaan dengan pembicaraan bagian ini maka banyaklah istilah agama atau hukum yang sama bunyinya, tetapi bagi para pemeluk berbagai-bagai agama mengandung paham (arti)/pengertian jang berbeda. Dalam zaman peralihan sejarah, pemakaian perkataan yang sama lebih banyak berlaku untuk melahirkan perbedaan paham (pengertian) dari zaman-biasa ketika pertentangan agama sudah mulai reda.
Kurang diketahui istilah apakah yang dipakai dalam bahasa Sangsekerta, Jawa-kuno dan Indonesia-kuno untuk menyatakan pengertian menurut agama Buddha dan Syiwa, tetapi ternjata isi dan maksud yang terkandung di dalamnya adalah faham tinjauan dunia kesaktian.
Pada waktu agama Islam mulai berkembang di Asia Tenggara maka nama Allah Ta'ala yang menurut ajaran tauhid jelas berarti Tuhan Yang Maha-esa disalin dengan perkataan-campuran Dewata Mulia Raja, walaupun dewata dalam bahasa Sangsekerta adalah semacam dewa.
Nama Allah yang tersebut di atas dapat dibaca pada batu bertulis (prasasti) Terangganau berasal dari tahun 1303 (1387) Masehi, yaitu ketika kerajaan Majapahit sedang naik dan agama Islam sedang mulai berkembang di Asia Tenggara.
Sebaliknya, banyak sekali istilah agama-Hindu dan Islam yang diambil oleh orang Indonesia untuk menamai Sang Hiyang Kesaktian, seperti nama Batara Guru pada orang Filipina, Batak dan Bugis; dan Hatala atau La-hatala pada orang Dayak dan Buru. Batara Guru dikenal dengan arti yang tentu dalam kedewaan Hindu, sedangkan kedua perkataan yang akhir itu (Hatala/La-hatala) adalah kata tiruan dari Allah Ta'ala dengan memakai awalan kesaktian dan kemuliaan La Ra.
Selain dari itu, dalam kepustakaan dan prasasti, perkataan Sang atau Sang Hiyang acap kali dilekatkan sebagai gelaran pada nama-nama yang dimuliakan, misalnya pada mahadewa dan para dewa kehinduan dan penganjur-penganjur kepercayaan Buddha serta pada beberapa arca, benda dan tanah yang dimuliakan karena berisi zat-kesaktian. Demikianlah istilah-istilah: Sang Syri Parwwatartatha, Sang Sukma, Sang Dharma dan lain-lainnya.

15. Peristiwa di atas membuktikan bahwa bagian Kesyiwaan atau Kesaugataan yang masuk ke dalam alam-pikiran Indonesia adalah yang sesuai dengan gerak-gerik keruhanian-sakti. Demikianlah dalam negara Singasari dan Majapahit berkembang agama Tantrayana, yang katanya merupakan paduan Kesyiwaan dan Kesaugataan, tetapi sebenarnya merupakan pertumbuhan keruhanian-sakti dengan berkulit ajaran dan upacara menurut masing-masing agama itu. Pada halaman lain akan dije­laskan lebih lanjut, bahwa sesungguhnya Tantrayana adalah Triyana antara tiga alam-pikiran keagamaan yaitu: kesyiwaan, kesaugataan dan kesaktian.
Memang dalam kesusasteraan Jawa-kuno dibentangkan susunan para-dewa menurut kedewaan (pantheon) kehinduan, tetapi kita harus membedakan ajaran para pujangga penyair agama dari kepercajaan rakyat biasa yang tetap pada pokoknya hidup dalam alam-pikiran kesaktian, juga pikiran-pikiran kesyiwaan dan kebu­ddhaan yang diterima oleh para pujanga dan ahli agama itu adalah yang sesuai dengan alam-pikiran kesaktian. 0leh sebab itu banyak sekali kepercayaan asli mendapat tempat pada peradaban kehinduan jang sampai ke sini, malahan agama-kesaktian itulah yang menjadi pokok yang abadi dan nilai pengaruh agama dari luar.
Kepercayaan kepada kesaktian itu meliputi: bumi, air, binatang, tumbuhan dan manusia, yang masing-masing kurang-lebih mempunyai isi zat-tuah (zat-sakti). Kepercajaan asli kepada gunung menimbulkan sikap ruhani terhadap gunung dan bukit berisi zat-sakti itu.
Menurut pendapat kami, penjelasan tulisan ini cukup memberi alasan, bahwa sikap ruhani orang Indonesia terhadap segala yang ada dan seluruh kejadian dalam alam adalah bahwa orang Indonesia mempunjai kepercayaan menurut tinjauan-hidayat (petunjuk) kesaktiannya kepada ke-Esa-an Sang Hiyang yang mempunjai penjelmaan beranekawarna dalam dunia yang nyata (sakala) dan gaib (tidak nyata/niskala).
Kepercayaan monotheisme tidak menjadi rusak atau berubah apabila di belakang pengaruh magi -- baik hening (diam), bergerak, ataupun berpadu-ber­tumpuk -- serta di belakang (di balik) segala benda dan kejadian adalah perbuatan Penyusun yang menguasai segala-galanya, dan Penjusun itu adalah Tuhan Yang Mahaesa.
Mempunjai sikap ruhani istimewa terhadap benda, atau mengalami satu tempat yang disangkanya (dianggapnya) bermuatan (memiliki) kesak­tian, adalah dialami dalam sikapnya itu sebagai memuliakan penjel­maan sifat-sifat Tuhan yang menguasai dan mengendalikan keadaan atau gerakan kesaktian, dan menjalankan sikap ruhani itu merupakan cara memuliakan kesaktian bagi Sang Hiyang.
Perhatikan­lah keadaan saat ini di pulau Bali, di sana didapati dan berlaku beberapa macam cara memuliakan dan berbagai-bagai upacara menurut masing-masing agama, tetapi di belakang (di balik) segala cara memuliakan dan upacara itu, pada tingkatan akhir dimuliakan Sang Hiyang Yang Mahaesa yang dinamai Sang Hiyang Tunggal atau Tintia (Cintya).
Tak perlu diulang lagi, bahwa orang Indonesia yang walaupun memeluk bermacam-macam agama yang memiliki Kitab suci, masih memakai perkata­an sembah-yang untuk menyatakan shalat dan beribadah dalam gereja, pura atau mesjid. Dalam bahasa Tagalog gereja Katolik dinamai sambah.

16. Kepercayaan menurut tinjauan-hidup kesaktian kepada Sang Hiyang sebagai Tuhan Yang Mahakuasa melarang kita berpandangan (mengganggap) bahwa pendirian Keesaan Tuhan (monotheisme) itu adalah hasil (akibat) yang paling akhir dari dasar-dasar kecerdasan yang sederhana.
Pengarang Andrew Lang dalam bukunya The making of Religion (1909, cetakan ketiga) telah mengatakan, bahwa perasaan (kepercayaan) kepada ke-Esa-an Tuhan itu memang sudah ada pada beberapa bangsa yang masih rendah tingkat kecerdasannja. Demikian pula pengarang P.W. Schmidt dalam bukunja Der Unsprung der Gottesidee telah menguatkan pendirian (pendapat) itu dengan bantuan penyelidikan ilmu-bangsa.
Dengan tidak berpihak kepada pemandangan yang ditimbulkan oleh pengarang-pengarang dan pengikut aliran lingkaran-kebudayaan (Kulturkreits), maka kita berpendapat pula, bahwa tinjauan­-hidajat kesaktian orang Indonesia memberi tempat yang luas bagi susunan keagamaan dan kepercayaan kepada paham Ke-Tuhan-an yang Esa.
Istilah Tuhan Yang Maha Esa seperti dipakai dalam kalimat Pembuka (Mukadimah) Konstitusi (Undang-undang dasar) 1945 dan Mukaddimah Konstitusi (Undang-undang Dasar) Republik Indonesia 1950 untuk menyatakan Allah Yang Mahatinggi menurut faham monotheisme (ke-Esa-an Tuhan) memang pada awalnya masuk terhitung kepada tinjauan-hidayat kesaktian -- yaitu Tuh, Yang dan Esa = Tunggal nyata tersimpan di dalamnya -- serta dipakai dan diterima dalam zaman peralihan agama dan peradaban untuk menyatakan Allah menurut ajaran Kesatuan Tuhan dan ajaran Tauhid agama Islam.

(5) Pengantara Kesaktian

17. Kelima: Pengantara kesaktian: dukun, datu, walian, balian, pinati dan yogiswara. Adapun perubahan dalam keadaan zat-kesaktian dapat dilangsungkan dengan perantaraan orang. Perantaraan itu dapat diberikan oleh pekerja yang istimewa menjabat jawatan (pekerjaan) yang khusus itu, dan semua pejabat-kesaktian ini mempunjai kedudukan tinggi dalam masyarakat Indonesia. Umumnya adalah nama dukun yang dipakai mereka, sedangkan khusus adalah datu (Batak), pinati (Bugis); walian (Dayak-lama) dan yogiswara (Jawa-kuno).
Orang pengantara (mediator/medium) itu dianggap mempunjai kecakapan (kemampuan) menentu­kan arah aliran sakti (kesaktian), mengumpulkan, menjadikan paduan atau memecahkannya; begitu juga dia memiliki kemampuan memindahkan pusat kesaktian atau memberhentikan alirannya menurut keinginan orang pengantara (mediator/medium) itu.
Kepandaian (kemampuan) ini sama sekali tidak dipergunakan untuk kepentingan pribadinya sendiri melainkan untuk orang lain yang membutuhkannya sebagai bantuan atas permintaan. Mereka menjaga supaya terdapat (terjadi) perimbangan (keseimbangan) dalam dunia-kesaktian.
Selain kemampuan yang turun-temurun itu, si pengantara (mediator/medium) pun mempunyai perhubungan dengan Sang Hiyang, yang -- sebagaimana dijelaskan di atas -- menguasai seluruh kesaktian dalam segala keadaan. Maka oleh kepandaian dan kemampuan yang dua macam tersebut, si pengantara (mediator/medium) menjadi pembantu anggota masyarakat yang hidup dalam dunia kesaktian serta mempunjai sikap ruhani kesak­tian pula.
Atas permintaan orang lain, untuk kepentingan kesehatan orang yang terganggu perimbangan (keseimbangan) kesaktiannya, yaitu orang sakit, maka kita mengerti mengapa dukun (pengantara kesaktian) mendapat kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu sampai kini.
Dukun atau walian (Dayak, Jawa-kuno) dan pinati (Bugis), tidak saja bekerja untuk mengem­balikan kewarasan masyarakat dan manusia yang sakit -- dengan memperbaiki perimbangan (keseimbangan) kesaktian -- melainkan juga mempunyai perimbangan (keseimbangan) kecakapan (kemampuan) bagi kepentingan orang lain untuk memakai zat kesaktian guna kebaikan atau pun kejahatan orang ketiga. Dengan demikian, baik atau buruk adalah bergantung kepada akibat pengaruh kesaktian yang digerakkan atau diarahkan, dan tidak berhubungan dengan adanya dua macam zat.
Perbuatan Empu Baradah dan Calon Arang yang memecah atau merusak kerajaan dan masyarakat dengan cara menggerakkan zat sakti, serta perbuatan [Raja] Kertanegara di Wurare (Wurawari) dan persembahan [Raja] Ayam Wuruk di perayaan Sraddha untuk kepentingan persatuan negara dengan menangkal akibat perpecahan dan perusakan, maka kedua macam perbuatan itu sama sekali tidak menggerakkan dua macam zat kesaktian yang buruk dan baik, melainkan bekerja dengan satu macam zat yang sama, menurut perasaan (niat/tujuan) yang berlainan, dan yang berbeda adalah arah atau akibat gerakan sakti atas benda dan masing-masing manusia yang dituju.
Untuk menggerakkan kesaktian secara kesenian itu maka si peng­antara (mediator/medium) memakai berbagai perkakas piranti, ada jang berupa benda pusaka, bisa, gerakan tangan, dan ada pula dengan memper­mainkan warna atau lukisan ilmu pasti. Terkenal piranti (sarana) berupa ikatan kata: jampi, ujaran, pidato atau mantera (Minangkabau: pidato, manto).
Perhubungan dengan macam piranti (sarana) yang dipakai untuk meng­gerakkan itu atau untuk kegunaannya maka kita mengenal: kesakti­an-kata, kesaktian-lukisan, kesaktian-suara, kesaktian-mata, kesak­tian-warna, kesaktian-obat dan kesaktian-kesusasteraan.
Kesaktian yang berhubungan dengan keteguhan atau yang mengikat susunan negara dan masyarakat, kita namai kesaktian-hukum atau kesaktian-adat. Apabila kesaktian itu kita tinjau dari pengaruh yang diturunkannya kepada panca indera manusia maka kita mendapat berbagai kesaktian.
Adapun perhubungan sakti antara penghubung (mediator) dengan Sang Hiyang, para leluhur, kepala negara atau lain-lainnya sebagai pusat kesaktian, tidak berimbang (tidak selaras) dengan pengalaman panca indera manusia (orang) yang meminta pertolongan, melainkan semata-mata dikuasai oleh kedua pusat kesaktian yang bersangkutan. Hanya akibatnya yang dialami -- berupa kenyataan atau anggapan yang meminta bantuan -- maka jadilah zat sakti itu sebagai medium (perantara) antara mediator (penghubung) dengan Sang Hiyang Maha-Sakti, sedangkan perhubungan itu sendiri tidak dapat dilihat atau didengar, melainkan semata-mata diterima secara turun-­temurun sebagai evidensi (bukti/tanda/kesaksian) belaka.
Baik usaha sendiri atau pun dengan bantuan penghubung-sakti, ditujukan kepada keadaan yang menimbulkan perimbangan (keseimbangan) antara diri dengan segala pusat kesaktian, dan antara segala perhubungan-sakti, per­imbangan (keseimbangan) sakti ini dirasakan tenang-nyaman dan waras oleh yang bersangkutan, sedangkan kerusakan perimbangan (keseimbangan) dialami atau dipandang (dianggap) sebagai sebab (penyebab) kecelakaan, penyakit dan kerusakan.
Buruk-baik, bahagia-bencana, jahat-celaka atau rusak-binasa, subur-makmur dalam masyarakat dan negara, dialami atau dipandang seolah-olah disebabkan oleh perubahan perimbangan sakti, dan perubahan ini dapat dilaksanakan juga dengan perantaraan yang dibuat menurut kecakapan (kepandaian) penghubung (mediator) dan keinginan yang ber­sangkutan.
Harmoni-kesaktian itu diharapkan dan dilaksanakan oleh yang bersangkutan dengan memakai piranti (sarana) kata-sakti atau dengan pemeliharaan atas beberapa jalan lain. Perkataan yang diucapkan mem­punyai pengaruh dalam dunia kesaktian.

18. Kesusasteraan -- seperti telah disinggung di atas -- mengenal kata-sakti yang diucapkan oleh Empu Baradah waktu memecah (membagi) keradjaan Airlangga, yang ditangkal oleh Kertanegara di Wurare (Wurawari) dan oleh Ayam Wuruk di perayaan Syraddha, dimana untuk memelihara perimbangan kesaktian, maka Sang Perabu tersebut setiap tahun berpidato di alun-alun Majapahit memperingatkan (memerintahkan) yang baik dan dan melarang yang buruk, walaupun yang dibacakan adalah kitab Kapakapa dan Sodraka, tetapi bagi yang berpidato dan bagi yang mendengar maka pidato perabu itu dirasakan mengalirkan gerakan sakti ke seluruh rakyat dan negara, karena titah raja berisi kata-sakti yang memperkuat dan memperbaiki perimbangan sakti dalam alam.
Dalam lingkungan adat Minangkabau maka pidato dengan sengaja diucapkan pada perayaan adat dan pengangkatan penghulu bertegak gelar datuk maka pidato itu berisi kata-kata sakti yang penuh dengan pepatah-petiti beraliterasi (bersajak) dan asonansi (persamaan vocal) dengan sengaja memuliakan aturan-aturan adat yang diturunkan oleh Datuk Seri Maharadjadiradja, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan oleh Datuk Ketemanggungan serta orang-orang dahulu (leluhur) yang mendirikan negeri (desa/kampung) dan susunan masyarakat.
Demikian juga perkataan-perkataan mantra jang diucapkan oleh pedanda (pendeta) ketiga aliran agama di pulau Bali memohonkan perimbangan sakti untuk kepentingan masyarakat dan para anggotanya.
Menurut aturan ilmu bahasa, maka awalan pi dalam kata-kata seperti pi-dato, pi-gentar dan pi-kasih (Minangkabau: pidato, piganta, pikasieh) menunjukkan wujud piranti atau alat-sakti. Pidato adalah piranti (sarana) untuk memelihara per­imbangan sakti, karena percaya kepada pengaruh kata sakti dan tuah perbuatan yang baik-baik. Contoh yang lebih tepat adalah mengucapkan kata yang benar dan pujian yang sungguh sebagai pujaan, supaya perimbangan sakti tinggal baik dan sempurna.
Acarca Ratnangsya, orang besar beragama Buddha dan masyhur kemahirannya dalam ilmu sejarah, dengan pangkat petugas penjaga candi di Singasari serta anggota keluarga raja, memulai riwayat raja-raja Singasari-Majapahit, ketika menjawab pertanyaan Rakawi Prapaca yang mendatanginya, ketika berjalan bersama-sama mengiringi perabu Ayam Wuruk ke Jawa Timur, dengan lebih dahulu membersihkan diri dan minta ampun akan kemungkinan menceriterakan yang tidak benar, Nagarakertagama, sar­ga XXXIX: 2, 3:
Nda sangtabya teki nghulun majarosen
macucya wway ing saptatirtthe swacitta
namas te Girindraya sambah ri sang hyang
nda tan dadya kotpata teki mpasabda
Ksamamatah manah sang kawindran rumenga­
ikang wwang rengo sughyan akweha mithyia
ndan anggegwane yang sang wrdda teka
pilih nyunang sugydhika; tani calana
Terjemahannya:
„Dan dengan seizin tuan segeralah hamba akan berceritera.
Sucilah hendaknya air pancuran-tujuh dalam hati sanubari hamba.
Mulialah Tuhan di Gunung dan sembah-sujud bagi Sang Hiyang.
Dan janganlah hendaknya berlangsung tanda jahat selama hamba berujar.
Waktu mendengar haraplah Sang Rakawi memurahkan hati memberi ampun.
Yang diceriterakan orang mungkin banyaklah yang lancung, tapi percayalah dalam hal ini kepada orang yang benar.
Agaknya ada pula yang kurang, mungkin ada yang berlebih-­lebihan dan janganlah itu disesalkan".
Sesudah meminta maaf dan ampun akan kekurangan atau kele­bihan kebenaran, maka barulah orang tua yang berusia lebih dari seribu bulan (83 tahun) itu menceritakan riwayat tentang turunan (silsilah) raja-raja Singa­sari-Majapahit, sejak dari Rajasa sampai ke Rajasanegara. Ucapan manggala ini memiliki banyak persamaan dengan kalimat-pembuka dalam kitab Cindur Mato sebelum memanggil dan memuji upa­cara dan kebesaran Raja Perempuan Minangkabau:
Ampun baribu kali ampun,
sakah gawa baribu kali ampun;
ampunlah kami mangabakan
kaba urang kami kabakan
duto urang kami tak sato,
Dalam kedua kata pujian-manggala itu berlangsung keinginan penulis dan pembaca, supaya dengan mengucapkan kata-kata sakti timbullah perimbangan yang menyelamatkan masyarakat dan negara. Mantera Acarca Ratnangsya itu, walaupun beragama Buddha, meniru Mahadewa Syiwa dan Sang Hiyang Tuhan Kesaktian serta meminta supaya hati-sanubarinya menyiarkan kebersihan dan kebenaran, sehingga kedua manggala diucapkan dalam dunia kesaktian yang hendak digerakkan dan dipelihara untuk kebaikan dan kebajikan perbuatan.
Dalam lingkungan adat Minangkabau maka memuliakan kesaktian-kata, (tuah-kato) supaya berimbangan (seimbang) dengan perbuatan orang dahulu-dahulu dan dengan susunan aturan adat sekarang, dijaga dengan pemeliharaan kemuliaan kata-kata (martabat kato)
Selain dengan ucapan bunyi maka perimbangan kesaktian itu dipelihara juga dengan memelihara rasa kemuliaan kepada benda sakti berupa keris, upacara, dan di Sulawesi Selatan istimewa memuliakan kraeng lowe dan barang hiasan kerajaan atau kesatuan-hukum.

19. Pemeliharaan kesaktian yang berdasarkan tinjauan ruhani seperti yang dijelaskan di atas, dilakukan dalam kerajaan Majapahit dengan teratur. Adapun kepercayaan kepada zat-sakti dapat dinyatakan (dibuktikan) dari kesusasteraan Jawa-kuno secara langsung atau lebih banyak lagi secara tidak langsung.
Zat-sakti adalah antara ada dengan tak ada. Ada (wanten) karena menurut naluri-pengalaman, dan tak ada (tan wwanten) karena tidak dapat dialami oleh panca indera. Sifat ini -- yang oleh Prapanca diberi nama dengan istilah Kesyiwaan Sakala‑niskala -- dilekatkan kepada zat-sakti Syiwa-Buddha dengan kalimat Sang suksme teleng ing samadhi = Sang mukjizat halus walaupun tak tampak tetapi berada dalam tafakur.
Pendapat ini ada akibat­nya, yaitu ruangan itu kosong (sunya) tetapi berisi zat-sakti (kha, akasya). Jadi:
Sunya = akasa
Sunya = Syiwa
Sunya = Buddha
Akasya = Brahma
Brahma = Buddha = Syiwa = Akasya, yaitu zat-sakti. Prof. Kern menjelaskan ajaran syncretisme (mistik) itu dengan mengemukakan pendapat-pendapat dari kitab Jawa-kuno Sutasoma karangan Empu Tantular pada zaman Prapanca, (VG IV, 1916, hlm. 172; Kern, Nagarakertagama, hlm. 21-22).
Bersandar kepada persamaan di atas maka dapat pula disimpul­kan persamaan yang lain, yaitu:
Ada = Tiada, atau
Wanten = Tan wwanten,
sesuai dengan semboyan sayap-kiri mazhab Mahayana bernama Madhyamika, bahwa:
Sarvam = Sunyam,
Sakala = niskala.
Selain memuliakan kesaktian itu dapat berlangsung di beberapa tempat -- baik bersama-sama dengan upacara agama Buddha mau pun Syiwa di rumah suci -- maka kesaktian dengan sengaja terkumpul dalam tatanegara sendiri, kesaktian raja dan keluarga raja yang memerintah dimuliakan di sekeliling Sang Perabu dan kesatuan saptaprabu, sedangkan kesaktian yang turun-temurun sejak beratus-ratus tahun, dipelihara dan dimuliakan pula dalam badan katrini yang beranggota Raka Alu, Sirikan dan Ino, yaitu tiga orang menteri yang memperhubungkan beberapa tingkatan sejarah.

20. Karangan ini membedakan tinjauan-hidajah kesaktian dari agama yang menentukan cara persembahan nenek-moyang, dewa-dewa dan tenaga gaib yang lain.
Sejak perabu Kertanegara (1276-1292) -- yang memerintah Singasari dengan gelaran Syiwa-Buddha -- maka segala aliran ruhani, ter­utama agama persembahan secara Kesyiwaan dan Kebuddhaan, oleh berkembangnya ajaran-tantra dan tinjauan-hidajat kesaktian, telah disatukan mendjadi agama tantrayana.
Sesudah keperabuan Singasari runtuh, maka Tantrayana terus berkembang dalam kera­djaan Majapahit dan Melayu-Minangkabau, yang diperintah oleh maharajadiraja Adityawarman. Sudah sejak awal, pengawasan hidup ruhani dan rumah persembahan dalam kepera­buan Majapahit dilaksanakan oleh jawatan-agama kedarmajak­saan sebagaimana pada awal pembentukannya oleh Kertanegara, untuk melin­dungi dan memajukan Tantrayana tadi itu dalam kerajaan Singasari.

Keabadian Zat Kesaktian

21. Tulisan ini memperhatikan pengaruh pengarang-pengarang animisme dalam penyelidikan ilmu-bangsa dan bagi perpustakaan umum, pengakuan itu dinyatakan (dikemukakan) dengan kesadaran bahwa uraian di atas tentang kesaktian, jauh berlainan dengan pengetahuan (paham) animisime seperti yang dikemukakan oleh penulis-penulis lama seperti Taylor, Wilken, Adrian, Kruyt dan Van Gennep.
Karangan para penulis ini menurut pendapat kami, menguraikan peristiwa-peris­tiwa dan pemberita menurut pikiran mereka sendiri, dan tidaklah mengutamakan bagaimana sesungguhnya pengalaman ruhani bangsa atau orang yang bersangkutan dan yang diselidiki.
Dr. A.C. Kruyt misalnya menyusun bukunya dalam dua bagian, tentang animisme dan spiritisme, semata-mata berhubungan dengan adanja anima (jiwa, semangat, daya) selama hidup di muka bumi, atau adanya sesudah kehidupan itu di alam akhirat. Pembagian atas dua bagian itu benar-benar berlawanan dengan pengalaman orang Indonesia menurut tinjauan ruhani kesaktian, yang berpendapat bahwa zat kesaktian itu tidak mengenal hidup-mati melainkan kekal-abadi dari suatu masa ke masa yang lain, dengan tidak mengenal waktu dan ruangan, sehingga pembagian antara zaman-hidup dan zaman-mati yang ber­turut-turut itu tidak sesuai dengan pendapat orang Indonesia yang dikatakan mengalami seperti yang telah diuraikan itu.
Lagi pula dalam ajaran daemonologie menurut penulis Kruyt -- bahwa para dewa, anima (jiwa, semangat) dan lain-lain itu adalah sebagai personifikasi (perwujudan) tenaga-alam -- tidak pula sesuai dengan kepercayaan Indonesia yang mengalami segala yang dikatakan personifikasi (perwujudan) itu menurut perasaan, yaitu pusat kesaktian atau paduan kesaktian yang lepas, tidak terikat oleh ikatan kulit atau bahan-tubuh.
Tidak saja kepada Kruyt kita mengemukakan kebe­ratan, tetapi juga kepada Van Gennep yang lebih tua itu. Dalam bukunya „Les rites du passage" ia menjelaskan pada halaman 17 apa yang dimaksudnya dengan animisme yaitu: La theorie personaliste, quo la puissance personifee soit une ame unique on multiple, une puissance animale ou vegetale (totem), anthropomorphe ou amorphe (Dieu). Dan dynamisme dikatakan: “La theorie impersonaliste du mana.”
Maka kedua uraian ini menyatakan, bahwa animisme adalah dalil-pendirian tentang tenaga yang terikat dalam ikatan perseorangan, tumbuhan, makhluk, berupa manusia atau tidak berupa sama sekali. Dynamisme ialah dalil pendirian tentang zat mana terikat atau tidak terikat dalam keadaan perseorangan, tetapi kedua macam tenaga dan zat dalam dua keadaan, baik bertubuh atau tidak; sedangkan Tuhan -- baik berupa manusia atau tidak berupa manusia -- sesungguhnya adalah susunan dan perbedaan yang timbul karena dibuat oleh pengarang sendiri dan tidak sesuai dengan pengalaman orang yang bersangkutan.
Van Gennep dan Kruyt dalam beberapa hal tentang animisme banyak persamaannya dengan pendirian Taylor dan Wilken, dan semua pengarang lama itu tidak mengenal adanya zat kesaktian menurut pengalaman orang Indonesia yang mempunyai tinjauan ruhani kesaktian.
Pengarang baru seperti Dr. J. Mallinckrodt, Prof. Duyvendak, dan Prof. C.C. Berg dalam karangannya sejak tahun 1938 telah me­ninggalkan pendirian dan pendapat para-penulis di atas tentang animisme. Baru-baru ini (1950) telah terbit buku Prof. Dr. G.I. Held bernama Magie, Hekserij en Toverij, yang sekali lagi membandingkan pikiran-pikiran Taylor, Frazer dan lain-lainnya tentang kesak­tian dengan mendekati pendapat pengarang-pengarang baru tersebut.
Dengan berdasarkan pendapat para penulis baru itu maka dalam karangan ini akan kita lanjutkan penelaahan sampai kemanakah tinjauan ruhani kesaktian Indonesia itu mempengaruhi susunan masyarakat dan negara selama sejarah Majapahit berlangsung, dan bagaimanakah hal seluk-beluknya susunan tatanegara yang ditim­bulkan oleh atau yang berhubungan dengan kepercayaan kepada kekuasaan dan pengaruh kesaktian-hukum yang berdasarkan tinjauan-hidayah kesaktian, yang menandakan kehidupan ruhani dalam segala luhak dan lingkungan hukum-adat di seluruh lingkaran adat Austronesia, serta yang membedakan dari daerah hukum yang lainnya di permukaan bumi sepanjang sejarah peradaban dunia.
Maka dalam lingkaran negara Majapahit, yang terbentuk dan dipelihara atas tinjauan kesaktian itu, berlakulah peraturan hukum-adat yang dipengaruhi atau diubah oleh peraturan agama Tantrayana sebagai kelahiran hidayah (petunjuk) dalam masyarakat yang menjadi anasir pengikat dan pengatur pembentukan masyarakat tersebut. Di sana berkuasalah hukum, karena ubi societaa ibi ius (Cicero).
Dalam bagian lain akan dilanjutkan penyelidikan, bahwa pelak­sanaan peraturan hukum dalam negara Majapahit, berdasarkan tinjauan-hidajah kesaktian itu berlangsung secara bertingkat dari jang paling tinggi sampai kepada yang paling rendah. Dan tingkatan itu dilahirkan oleh anggapan tentang berkuasanya pengaruh tuah-kesaktian dalam alam-nurani Indonesia pada zaman tersebut.
Dalam bukunya The modern state karangan prof. R. M. Maciver, yang banyak mengenal tentang pengaruh kesaktian pada penyusunan (pembentukan) negara dan masyarakat, seperti terbukti karena beberapa kali menyebut-nyebut nama buku karangan Lang tentang Magic and Religion dan nama buku Golden Bough karangan Frazer, maka setelah membeda-bedakan bermacam-macam negara, untuk menjawab pertanyaan apakah yang dinamai negara, maka penga­rang itu sampai kepada suatu perumusan umum bahwa:
Negara itu adalah suatu asosiasi yang tersusun oleh peraturan-peraturan pemerintah yang berkuasa memaksakan pelaksanaan segala peraturan itu” (1950; halaman 12).
Perumusan itu, walaupun lebih-lebih tertuju kepada negara-negara baru dalam abad ke-XX, tetapi dapat juga dipakai bagi merumuskan negara Majapahit, asal saja yang dimaksud dengan dengan asosiasi itu adalah asosiasi politik yang disusun manusia atau masjarakat berupa bentukan atas kepercayaan, karena beranggapan berlakunya pengaruh tuah-kesaktian dalam alam-nurani Indonesia, seperti telah dijelaskan di atas dan seterusnya akan dilanjutkan nanti, sedangkan yang dimaksud dengan peraturan-peraturan adalah perintah-perintah yang tidak tertulis. (Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar